Mimpiku ...

Menjadi apa adanya diriku ... Memberi yang terbaik dan terindah Tuk mereka yang tercinta

Wednesday, May 28, 2008

Keluhku

Nek melu-melu ngrasakke kondisi negeri ini, rasanya sedih banget.
Miris, getir, sebel, jengkel, bingung, judheg, semua jadi satu.
Lha gimana ya, wong para pimpinan daerahnya aja waktu diajak bicara soal kemiskinan rakyat, malah tidur. Wakil rakyatnya sibuk ingin menggugat sesiapa yang mengusik kenyamanannya duduk di Senayan, meski usikan itu hanya berupa sindiran lewat lagu. Saat monster bernama KPK beraksi dan berbuat ulah, mereka mulai kelabakan. Saking takutnya, sang monster terancam akan dibina (sakan). Padahal kan, kalo ga salah, kenapa mesti takut ? Lagipula ada yang harusnya lebih ditakuti dari sekedar sekumpulan makhluk dalam wadah bernama KPK itu, Yaitu Ia Sang Pemilik Makhluk.
Prajurit dan aparatnya yang harusnya saling berkolaborasi untuk mewujudkan keamanan dan kedamaian, malah sibuk gontok-gontokan sesama mereka sendiri. Ia yang seharusnya jadi pelindung, malah jadi momok yang ditakuti bahkan kadang jadi musuh yang harus dilawan.
Orang-orang kayanya sibuk ikut kontes membuat menara paling tinggi, sementara saudaranya yang tak berpunya hanya bisa menatap hampa rumah dan harta miliknya yang masih berkubang dalam lumpur, tanpa ada kepastian.
Pulau-pulau terluarnya dibiarkan terlantar dan kurang diperhatikan. Hanya sebagian kecil saja yang baru-baru ini mulai diberi perhatian. Giliran diakui oleh negara lain, kitanya teriak-teriak nggak rela. Seandainya mereka bisa berkata, mungkin mereka akan bilang ”Selama ini kemane aje Bang ???”
Nggak Cuma pulau, budayapun gitu juga. Bahkan kejadiannya nggak cuma sekali. Secara, setiap kita, pastinya akan merawat dan melindungi apa yang jadi miliknya, bukan ??!!!
Para penentu kebijakannya sibuk bekerja. Tapi entah untuk siapa. Untuk dirinya sendiri, untuk sekelompok orang tertentu, untuk orang-orang diatasnya atau benar-benar untuk kesejahteraan rakyat yang ditanggungnya.
Materialisme menjadi denyut nadi kehidupan di kota besarnya, anarkhisme memenuhi jiwa-jiwa para mudanya, individualisme merasuki para remajanya. Hingga yang ada hanya aku, terwujudnya inginku, masalahku dan kehidupanku.
Ketidakpedulian merajalela, nurani mulai menumpul.
Agama ... ?
Entah diletakkan dimana ia.
Sebagiannya masih setia membawanya kemanapun mereka pergi.
Sebagian lainnya meninggalkannya beberapa lama, ketika mereka pergi, dan mengambilnya lagi setelah mereka kembali.
Sebagian lainnya lagi bahkan telah lupa, dimana dulu ia meletakkannya.

Allah ... rasanya pengen teriak melihat semua ketidak idealan ini.
Sadar sih, harus ada perubahan jika ingin keadaan lebih baik. Cuma karena terlalu banyak yang harus dibenahi, jadi bingung mo mulai darimana. Kebayang susahnya merubah sekian ratus juta orang di negeri ini. Makanya saya cukup salut dan terharu, masih ada yang berlomba-lomba menjadi pemimpin di negeri yang sedang berbenah ini. Padahal kan beban dan tanggungjawabnya, SubhanaLLah ... berattt banget. Semoga saja, niat mereka bener-bener tulus ingin membawa negeri ini ke keadaan yang lebih baik dan membawa rakyat menuju kesejahteraan.

Memang, kalo dilihat secara makro, semua terasa berat dan terlihat seperti ketidakmungkinan. Sekaligus bikin hati jadi apatis, skeptis dan putus asa. Tapi sebenarnya, jika dilihat dalam skala mikro, maka semua akan terasa lebih ringan.
Mungkin mulai kini kita harus berusaha lebih peduli. Sedikiiiit saja peduli. Pada lingkungan, pada kondisi negara ini, pada orang-orang disekeliling kita. Meluangkan waktu kita, meluangkan pikiran kita, mengulurkan tangan kita untuk melakukan sedikit perubahan. Sedikit saja, jika memang banyak terlalu berat. Hingga paling tidak, sedikit yang kita lakukan itu, bisa mempengaruhi orang lain untuk ikut juga peduli dan menunmbuhkan kesadaran bahwa memang ada yang harus dibenahi.

Cahaya itu masih ada, Kawan
Yakin itu
Mari jaga agar ia tak redup
Atas izinNya, kita kan mampu mewujudkannya.

Pemimpin itu ...

Mungkin ada benarnya juga pendapat yang mengatakan bahwa cara berpikir seseorang itu bisa berubah setelah menikah. Teman saya yang sudah menikah, mempunyai cara berpikir yang lebih praktis dan realistis dalam menyikapi suatu hal, sedang kami yang masih muda-muda (halah !) maksudnya yang belum menikah, cenderung masih berusaha kukuh dengan idealisme yang kami miliki. Hingga kadang terjadilah pertempuran-pertempuran kecil dalam perjalanan pertemanan kami. Tapi itulah dinamika. Ga seru juga kalo semua mempunyai pendapat yang sama kan ?
Dipikir-pikir, ada enaknya juga berbincang dengan mereka-mereka yang sudah menikah. Paling tidak, jadi mendapat ilmu teentang masalah kerumahtanggaan. Mulai dari bagaimana membina hubungan dengan mertua (umumnya nih, yang menjadi momok bagi menantu adalah mertua. Tanya kenapa ??), membangun komunikasi dengan pasangan dan anak, pola mengasuh anak, dll, yang kesemuanya itu belum tentu bisa didapatkan dari teman-teman yang belum menikah.
Seringkali ceritanya bikin geli dan tersenyum. Tak jarang pula bikin dongkol dan gregetan (padahal yang ngalamin nyante aja). Pernah suatu kali saya sampai bergumam dalam hati, ”Ya Allah, makhlukMu yang bernama ’Laki-laki’ ini kenapa begitu egoisnya ???”
Gara-garanya adalah cerita tentang pembagian peran dan penempatan posisi antara suami istri dalam rumah tangga.
Kita semua tentunya sudah tahu bagaimana Islam mengkonsep kedudukan pria dan wanita.
Ya, dalam Al Qur’an disebutkan, yang intinya bahwa Pak Rizal adalah Qawwam (Pemimpin) bagi Bu Nisa.
Cuma masalahnya adalah bentuk pengejawantahan Qawwam oleh para bapak-bapak Rizal itu bermacam-macam, sesuai dari pemahaman tiap-tiap orang tentang konsep Qawwam itu tadi.
Ada yang mengartikan bahwa Qawwam tu ya segala perkataan Pak Rizal harus dituruti, tanpa boleh ada interupsi, hak bertanya, hak interpelasi maupun klarifikasi (apa sih ?). Baru mo menyela dah dipotong duluan,
”Mo mbantah suami ??? siap-siap aja masuk neraka”.
Gubraxxx, dah skak mat tuh ga bisa apa-apa lagi. Kalo udah kayak gitu, biasanya ujung-ujungnya KDRT. Aduh, jangan sampe deh.
Memang, ketaatan pada suami adalah sebuah keniscayaan bagi istri. Bahkan amalan itu mempunyai poin yang tinggi di sisi Allah. Tapi ya njuk jangan menjadikan itu sebagai dalil dan dasar untuk memaksakan kehendak dan mau menang sendiri, tanpa memberi kesempatan kepada istri untuk menyatakan pendapat ataupun membela diri.
Rasanya akan lebih indah, jika Pak Rizal dan Bu Nisa bisa menjadi sparing partner yang saling mengisi, memotivasi dan bahu membahu dalam ketaatan kepada Allah. Bukankah demikian ???
Mungkin perlu dikaji lagi bagaimana menjadi pemimpin yang baik, yang berhasil dalam memimpin keluarga, juga sukses memimpin masyarakat. Toh kita punya segudang referensi mengenai hal itu. Yang paling shohih tentunya adalah profil junjungan kita, Rasulullah Muhammad SAW. Sehingga daftar KDRT yang sudah cukup panjang, tidak jadi semakin panjang.


By : Pemerhati masalah Keluarga dan Anak (Huex 999x, ngaku-ngaku !!!)
He ..., nggak ding, mung catatan kecil dari orang yang tengah belajar dari hidup dan kehidupan. Itu aja ^_^

Proses II

Setiap hal yang berlaku di dunia ini, pastilah melalui proses dan perjuangan, tidak ada yang ujug-ujug langsung jadi. Perjalanan manusia dari Lam yakun syai an madzkuura (sesuatu yang belum bisa disebut), hingga menjadi sosok yang menyandang predikat manusia-pun membutuhkan proses panjang.
Proses menuju sel telur yang harus diiringi dengan perjuangan keras mengalahkan jutaan bakal calon janin lainnya. Proses pembentukan organ di dalam rahim yang membutuhkan waktu 9 bulan lebih, proses menuju dunia yang disertai pertaruhan nyawa dari sang bunda. Proses untuk belajar melihat dan mendengar secara sempurna, proses untuk dapat bertutur dengan lancar, proses untuk melangkah, mulai dari merangkak, tertatih, berjalan hingga akhirnya mampu berlari.
Hidup manusia sejatinya adalah sebuah kesinambungan proses. Dimana dalam tiap-tiap prosesnya terkandung pelajaran yang sangat luas. Karena proses adalah juga merupakan salah satu sarana bagi Allah untuk mendidik hambaNya. Sebuah pembelajaran yang tak kenal masa, ruang dan waktu.
Hidup manusia takkan lepas dari yang namanya proses. Dan proses itu perlu waktu yang kadang tidak sebentar, sehingga dibutuhkan kesabaran dalam menjalaninya.


:saat diri ingin bersegera menjadi ”sesuatu yang berarti”
Semua itu perlu proses nee ...

Sekilas TiJe

Ternyata kursi memang barang mahal. Ga hanya kursi di Senayan, tapi juga kursi di dalam traja. Bagi kami, pati-narapati pelanggan traja (khususnya koridor yang setiap hari saya lewati, yaitu VI dan IV), untuk mendapatkan satu kursi di dalam traja merupakan sebuah perjuangan. Terutama pada jam-jam sibuk seperti saat berangkat kerja (6-8 pagi) dan pulang kerja (4-8 malam). Maka jika tidak ada urusan yang terlalu mendesak, disarankan hindari bepergian dengan traja pada jam-jam itu, lebih-lebih kalo bawa anak kecil atau lansia. Wadhuh, mending jangan deh. Bukan apa-apa, kasihan aja kalo harus ikut desak-desakan.
Balik ke masalah perjuangan mendapatkan kursi tadi. Jangankan dapat kursi, dapat tempat di dalam traja aja harus melalui antri cukap panjang (di shelter Taman Margasatwa bisa nyampe lebih dari 10 m, padahal antrinya dah 5 baris tuh. Di Deptan malah sampe ke trotoar jalan di luar shelter, bener-bener deh), trus menunggu cukup lama (dengan range sekitar 5 menit hingga 1 jam !!!), berdesak-desakan nggak karuan, itupun masih dengan catatan belum tentu bisa duduk alias masih tetep berdiri. Lumayan juga sih 1,5jam berdiri. Kalo PP ga dapet tempat duduk juga, maka total 3 jam berdiri.

Memang, setelah adanya kebijakan sterilisasi jalur, jumlah pengguna traja semakin meningkat. Apalagi dengan naiknya harga BBM ini, ada kemungkinan pelanggan akan semakin bertambah. Kalo hal ini ga di antisipasi dengan baik, wah bisa kacau tuh. Akibatnya pelanggan bisa pada ngabur, balik pada pake mobil pribadi lagi. Artinya macetnya bakalan lebih parah. Jadi mau ga mau jajaran BLU TiJe harus segera melakukan pembenahan. Baik dari segi sarana prasarana maupun pelayanannya. Misalnya dengan nambah jumlah armadanya, atau distribusi trajanya lebih diatur lagi. Sering kejadian, ada lima traja numpuk di TL, habis itu hampir 30 menit ga ada yang lewat. Kan ga efektif banget tuh.
Tambah lagi pramudinya yang kadang berhenti mendadak, padahal kondisi traja dah miring, jadinya yang didalam pada gedubrakan. Buka tutup pintu dengan terburu-buru atau kurang hati-hati, kurang sabar dalam menghadapi pengguna jalan yang lain, jadinya marah-marah dan saling umpat ga karuan. Kan bikin gerah suasana tuh.
Anyway, dengan segala keterbatasan yang ada, saya cukup berterima kasih kepada seluruh jajaran BLU TiJe, mulai dari penjaga loketnya, penyobek karcisnya, penjaga pintunya, pengatur antriannya, pengatur distribusi trajanya, penjaga jalurnya, pramudinya, semua-mua deh. Karena bagi saya, traja adalah angkutan pertama yang saya kenal di kota ini, yang mengenalkan saya pada kota ini, yang nganter saya pulang pergi setiap hari, yang membersamai saya dalam proses adaptasi dengan kota ini, tempat saya mengurai kegundahan hati demi menyaksikan berbagai ketidakidealan yang terkadang begitu menyesakkan dada. Disana pernah ada marah, kesal, sedih, kecewa, tawa, senyum, air mata hingga hal-hal kecil sekedar iseng yang bikin hati jadi geli. Yah, gado-gadolah pokoknya. Makanya, sebenarnya agak sedih juga harus meninggalkan rutinitas naik traja setiap hari. Tapi ya cape’ juga kalo tiap hari harus menghabiskan waktu 3 jam di jalan.
Akhir kata, tetep Semangat tuk semu kru traja. Semoga pelayanannya lebih baik lagi.

Tuesday, May 27, 2008

Bisa ga ya ???

Deru motor membelah pagi.
Aku tersenyum, menebak-nebak dialog yang akan terjadi.
Sesaat kemudian senyumku semakin melebar, demi menyadari perkiraanku yang 95% mendekati kebenaran.
”Darimana ?”
”tempat temen”
”Kok nggak pulang ?”
”Kemalaman”
”Ditelpon ga diangkat-angkat”
”Lagi dijalan”
”Di sms juga ga dibalas”
“lupa”
Aku masih tersenyum mendengar percakapan itu.
Begitulah. Setiap kali ada salah satu dari tiga jagoannya yang tidak ada dirumah pada jam-jam yang seharusnya mereka ada di rumah, beliau selalu melakukan inspeksi. Kalo bahasa saya sih ng-absen. Biasanya lewat telpon, kalo ga ya sms.
Ini sudah jadi semacam kebiasaan, sehingga anak-anakpun sudah hafal. Malah kadang kalo ga ditelpon, mereka jadi heran, tumben ga diabsen.
Tanggapannya sih macam-macam. Kalo lagi ngeh ya ditanggapi, tapi kalo lagi ga pengen diganggu, ya didiemin aja dengan berbagai alasan.
Kalo dah gitu, sampe di rumah, terjadilah dialog –dialog pendek seperti diatas,
Mungkin memang sudah naluri keibuan kali ya ...
Saya semakin tersadar betapa urgentnya peran ibu dalam sebuah keluarga, terutama dalam membangun pola komunikasi antar anggota keluarga. Tak jarang, ibu menjadi jembatan penghubung antara ayah dan anak-anak, seringkali pula Ibu menjadi sumber informasi bagi seluruh anggota keluarga mengenai segala hal tentang rumah .
Ibu, bagi keluarga, adalah sosok yang tak tergantikan.
Pulang ke rumah , yang ditanya ”Ibu mana ?”
Mo nanya sesuatu tentang hal seputar rumah,
”Bu, ininya dimana ?”
Mo meminta sesuatu juga ibu.
”Bu, ini”
”Bu, itu”
Semuamua ibu.
Akhir-akhir ini saya sering mikir, dengan kondisi seperti saat ini, bisakah nanti menjalankan peran sebagai istri dan ibu yang baik, yang sesuai dengan idealisme yang saya punyai ???
Gimana nggak mikir, dari seluruh waktu jaga saya dalam sehari, 2/3 nya habis di luar rumah, bahkan untuk kasus khusus bisa lebih dari 2/3nya.
Hhfff, mau ga mau mikir juga kan, kalo dan punya suami or istri eh maksudnya anak gitu, apa bisa seperti itu terus ???
Padahal saya termasuk yang sepakat bahwa ibu dan istri yang ideal adalah yang menjadikan aktivitas mengurus keluarga sebagai prioritas dan amanah utamanya, karena menurut saya peran sebagai istri dan sebagai ibu adalah peran-peran yang tidak bisa diambil alih atau dilimpahkan kepada orang lain. Begitu idealisme saya berkata.
Yah ... akhirnya masih belum menemukan jalan keluar.
Kata teman saya, “halah kadohan leh mikir”.
Begitu ya ?
Namun saya yakin, akan selalu ada jalan.
Semua kan terbuka, saat telah tiba masanya
Aamin

Rasa Sayang

Adalah hal yang wajar jika kita ingin selalu bersama dengan orang-orang yang kita sayang. Namun pada kenyataannya, tak selamanya kita bisa bersama dengan mereka yang kita sayangi.
Sedih memang, tapi begitulah hidup.
Pada hakikatnya, menyayangi adalah proses saling memberi.
Artinya saat kita bersedia untuk menyayangi maka kitapun harus siap dan rela untuk memberi.
Mungkin kita harus belajar menyayangi sebagaimana seorang ibu menyayangi anak-anaknya. Kalo mo dipikir, apa sih yang nggak dilakukan seorang ibu untuk anaknya. Harta, pikiran, bahkan jiwa pasti rela dikorbankan untuk kebahagiaan anak. Tapi pada akhirnya, saat sang anak menginjak dewasa, sang ibu harus merelakan anak-anaknya melangkah menempuhi garis hidup masing-masing. Rasa sayangnya tak membuat sang ibu memasung sang anak untuk selalu berada disampingnya, meski di lubuk hati terdalamnya, ia ingin selalu beada di samping anak-anaknya.
Yah, mungkin begitulah kita harus menyayangi.
Sayang yang tak mengikat, sayang yang tanpa syarat. Dan tentunya sayang yang didasari pada kecintaan kita pada Allah.


12/5/08
Ketika, untuk kesekian kalinya, harus berpisah dengan sahabat sekaligus saudara.
Selamat Jalan Ukhti...
Semoga betah disana. Kalopun pengen ....., intinya adalah bersegera, bukan tergesa-gesa dan bukan karena biar bisa segera balik Jawa(hehe ..., apa coba ??? ;p).
Uhibbuki fiLLah ...

Monday, May 19, 2008

Memori

Sedih rasanya jika dilupakan oleh orang.
Beberapa waktu lalu, saya bangun tidur dengan perasaan kesal. Masalahnya, malamnya saya mimpi ketemu teman lama tapi teman saya itu lupa sama sekali dengan say. Bahkan nama aja ga ingat !!! Padahal udah dipancing-pancing kalo huruf depannya "e", tetap aja ga inget. Gimana ga kesel tuh.
Dan kemarin itu, saya kembali dibuat sediiiiiihhhh banget dengan ulah ponakan saya. Gimana enggak. Saya pulang dengan perasaan berbunga, karena bisa kembali ketemu dengan ponakan semata wayang, dengan rindu yang begitu sangat (halah, hiperbolis banget), udah membayangkan ekspresinya yang lucu saat untuk pertama kali mendengar suaranya memangggil nama saya di telepon 'enyiiiii', gemesiiin banget.
Bahkan saya ngalahi langsung mampir ke 'sekolah'nya sebelum singgah ke rumah. Namun ternyata apa yang terjadi ???
Saat saya dengan semangat 45 turun dari bis, dengan barang bawaan yang masih bergelayut, dengan senyum yang merekah ceria menujunya, eh yang dituju malah menatap heran ke arah saya. pas saya mendekat, eeee malah nangis ketakutan.
Ya Allah, rasanya sediiiihhhh banget. Asli. Saya jadi bengong. Ga tahu mesti ngapain.
Lha masa ponakan sendiri sampe nggak inget ma kita, kan menyedihkan sekali.
Kebayang dengan saudara-saudara kita, para ibu, yang terpaksa meninggalkan anak-anak mereka dalam waktu lama untuk mencari nafkah ke kota lain. Mungkin mengalami seperti itu juga kali ya.
Saya jadi mikir, baru dilupakan ponakan aja, rasanya sedih banget, gimana kalo yang lupa dengan kita adalah anak kita ??? Saya ngeri mbayanginnya.
Jangan sampailah itu terjadi. Naudzubillahi min dzalik.
Bagi para ibu ataupun calon ibu, mungkin perlu dipertimbangkan kembali sebelum memutuskan untuk meninggalkan buah hati dalam waktu yang lama (berbulan atau bahkan bertahun), dengan alasan apapun itu.
Karena bagaimanapun, ibu adalah guru pertama bagi anak, dan keluarga adalah madrasah pertama bagi anak. Semoga kita tidak melupakan itu.


Tulisan yang idealis banget. Maklum, masih teori^_^