Mimpiku ...

Menjadi apa adanya diriku ... Memberi yang terbaik dan terindah Tuk mereka yang tercinta

Monday, July 28, 2008

Cerita dari Bulungan

Kemarin habis dari Bulungan. Ada acara dengan tema mengenang Alm. Ust. Rahmat.
Pertama menginjakkan kaki di ruangan, langsung disambut dengan foto dan petuah-petuah beliau yang terpampang di dinding yang mengelilingi ruang depan. Ada aura yang berbeda saat mencermati foto-foto itu satu demi satu. Ada rindu bercampur haru. Hingga di salah satu sudut saya terpaku. Pada satu bingkai dengan untaian kalimat yang membuat jantung berdesir.
Sayapun mengabadikan kalimat itu dan membingkainya di Bingkai Kehidupan. Sebuah kalimat sederhana yang, entah, terasa begitu mendalam bagi saya.
Setelah itu ikut seminar tentang peran muslimah. Narasumbernya Bu Ledya dan Bu wiwi. Subhanallah, sebagaian besar pertanyaan saya yang telah mengendap sekian lama, yang saya cari-cari jawabannya namun belum juga mendapatkan jawaban yang memuaskan, akhirnya terjawab sore itu. Bagus banget isinya, baik bagi yang belum menikah, sudah menikah bahkan untuk bapak mapun calon bapak. Untung sempat saya rekam. Kapan-kapan saya share deh. Manual aja, soale ga tahu gimana nge-share dalam bentuk audio (gaptek banget yo ...).
Nah setelah itu, nonton film Sang Murobbi. Tayang perdana nih.
Sederhana, bersahaja. Itu yang tertangkap dari sosok beliau yang divisualisasikan di film itu.
Ada rasa malu menyusup. Entah dari mana datangnya. Hanya saja saya merasa, masa belajar yang sudah sekian lama, belum memberikan atsar yang nyata dalam diri saya.
Hfff betapa meruginya.
Hari itu saya merasa "penuh".
Penuh asupan ilmu, penuh pencerahan, penuh hikmah, penuh tekad dan semangat untuk menjadi lebih baik lagi.

Subhanallah ... walhamdulillah ...

NB : eh iya, pas nunggu temen mau pulang, sempet ketemu Pak Tifa secara langsung, hehe ...

Sunday, July 20, 2008

Catatan Pinggir Lapangan

Bagaimanapun yang namanya pendukung di luar lapangan tuh lebih enak daripada jadi pemain yang bermain di lapangan.
Lihat bulutangkis misalnya. Kitanya yang cuman nonton dah heboh teriak-teriak, padahal pemainnya mah cool-cool aja. Bahkan tak jarang sambil menyalahkan,
"Wah mbaknya gimana sih, sering banget buat kesalahan sendiri."
Begitupula lihat sepakbola. Pernah kan waktu masih di tempat bulik, bareng-bareng lihat The Jack lawan mana, saya lupa. Ceritanya nih agak terpaksa, lha pada seneng itu, jadi mau ga mau ikutan nonton. Eeee, yang katanya nonton dengan terpaksa itu, malah ribut sendiri, tiap mo gol saya dan bulik langsung heboh. Padahal om sama sepupu, kalem aja nontonnya. Ga sampe situ, kadang kita (para wanita ini) juga sok tahu banget, ngasih-ngasih saran.
"Wah itu harusnya ada yang jagain tuh, masa lini belakang dibiarin kosong".
"Gimana sih, nendang gitu aja ga bisa"
Pokoknya komentar macem-macem deh.
Sampe sepupu saya komentar, karena sebel kali ya "apaan sih ni, pada sotoy banget"
hehehe. Saya sama bulik cuek aja.
Yah begitulah ulah para pendukung. Padahal, pendukung kalo di suruh main langsung di lapangan belum tentu bisa.
Dalam konteks lain, saya pernah berada "di luar lapangan" dan "di dalam lapangan" meski masih di pinggirannya.
Saat masih di luar lapangan, saya menyikapi berbagai hal yang terjadi di dalam "lapangan" dengan sikap yang sedikit apatis. Menganggap orang-orang "di dalam lapangan" hanya berbuat semaunya sendiri, tanpa mau mempertimbangkan suara dan teriakan dari "luar lapangan".
Tapi setelah beberapa lama berada "di pinggir lapangan ini" saya mendapat sudut pandang yang berbeda dalam melihat apa-apa yang dilakukan orang-orang di dalam lapangan. Saya sedikit-sedikit tahu kenapa orang-orang di dalam lapangan bertingkah begini dan begitu. Jadi tahu duduk permasalahannya.
Misalnya saja, yang baru-baru ini terjadi, saat kata "naik" sering terdengar. Dulu, saat masih di "luar lapangan", saya sebel tiap keputusan untuk "naik" ini diambil. Dalam benak saya saat itu, jika ada kata "naik", itu artinya akan ada banyak orang yang kan semakin menderita. Dan saat itu, saya ga terlalu tertarik dengan alasan, sebab ataupun akar permasalahan kenapa kemudian kata "naik" harus diambil. Yang saya tangkap hanyalah pemain dalam lapangan ga peduli dengan pendukung di luar lapangan.
Setelah berada di pinggir lapangan, ya, memang masih kurang setuju dengan keputusan yang diambil, bedanya, sekarang saya lebih tahu duduk perkaranya, serta kondisi di lapangan yang sedang terjadi. Jadinya ya gimana lagi, memang sedang sulit posisinya. Dilematis.
Agak rumit juga sih transisi dari "luar" ke "dalam" ini. Kadang terasa aneh. Secara lahir sudah di dalam lapangan, tapi batin, pikaran, dan idealisme masih di "luar". Jadi sering banget terjadi benturan. Tapi bagaimanapun saya tetap harus bertahan di tengah kerumitan ini, karena memang masih banyak hal yang harus saya pelajari di sini.
Untung ada teman seangkatan dan sama-sama pernah merasakan berada di luar lapangan. Jadi yah ada yang bisa diajak ngobrol.
Dari obrolan-obrolan itulah, saya sering menemukan "sesuatu". Misalnya saja, saya jadi menyadari, bahwa terkadang suara-suara yang dulu sering kami suarakan dari luar lapangan, masih bersifat praktis.
Misal di tahun 98-04 dulu. Saat kata "turun !" seringkali terdengar. Memang sih, itu aspirasi, cuma kalo dipikir lagi, kalo udah turun trus seperti apa ??? Kadang tuh yang usul masih terbatas pada "turun" itu thok. Setelah bener-bener turun, ya udah, selesai. Seolah "turun" itulah tujuan akhirnya. Habis itu, tinggal pemain dilapangan yang sibuk mengeksekusi kelanjutan prosesnya.
Tapi ya memang tidak bisa menuntut lebih kepada pendukung di luar lapangan, karena memang para pemainlah yang mempunyai chance lebih besar untuk menajdikan kondisi di lapangan lebih baik lagi.
Bagaimanapun semua sudah ada job deskripsinya masing-masing. Dan tiap-tiap elemen itu tetap diperlukan kontribusinya dalam rangka bersama-sama meraih apa yang tengah dicita-citakan.
Pendukung tanpa pemain nggak akan bisa memenangkan pertandingan, pemain tanpa pendukung hanya akan bermain asal-asalan tanpa semangat dan tak tentu arah. Dengan teriakan dan sorak sorai dari pendukunglah, pemain jadi terpacu semangatnya dan akhirnya berusaha untuk bertanding dengan sebaik-baiknya.
Hffff, nggak jelas ya.
Gapapa, hanya sekedar ingin menuliskan apa yang ada di kepala saja.
Semoga bermanfaat.

Tuesday, July 15, 2008

Demam Janji Suci

Yovie n the Nuno

Dengarkanlah wanita pujaanku
malam ini akan kusampaikan
hasrat suci, kepadamu Dewiku
Dengarkanlah kesungguhan ini

**
Aku ingin mempersuntingmu
tuk yang pertama ...
dan terakhir ...

Jangan kau tolak dan buatku hancur
Ku tak akan mengulang tuk meminta
Satu keyakinan hatiku ini
Akulah yang terbaik untukmu

Dengarkanlah wanita impianku
Malam ini akan kusampaikan
Janji suci
Satu untuk selamanya ...
dengarkanlah kesungguhan ini

Back to **

Di ruangan, lagi demam ma lagu ini.
Lucunya, yang suka malah beliau-beliau yang sudah separuh baya.
Kasubag saya yang Kangen Band mania, sepanjang hari ini menyenandungkan (atau menggumamkan ^_^) lagu itu.
Ibu yang duduk tepat di depan saya, yang 11 Januari banget, pagi ini juga asyik bersenandung lagu ini.
Ibu Kasubag di belakang saya, pas pertama denger lagu ini berkomentar "bagus ya lagunya".
Hmmm, mungkin nih ya, dalam hati mereka komentar.
"Coba lagu ini ada pas jaman kita muda dulu ya ..."
Hehehe, nggak ding, itu bisa-bisanya erni aja.
Iya, emang lagi kurang kerjaan.

Monday, July 14, 2008

Kebiasaan Burukku

Lagi sedikit kecewa pada diri sendiri. Kenapa ya sifat ceroboh ini ga ilang-ilang. Perasaan dah berusaha untuk teliti dan setiti, berulang kali di cek, dicermati satu persatu tapi tetep aja ada yang lolos.
Padahal, kesalahan sekecil apapun bisa berakibat fatal !!!
Mungkin ini salah satu ibroh kenapa saya ditempatkan di bagian ini.
Harus sabar erni. Ga boleh grusa-grusu. Cek dulu pelan-pelan, kalo perlu huruf demi huruf, angka demi angka.
Yah, semoga bisa sedikit demi sedikit mengikis sifat ceroboh dan teledor saya.
Aamiin
Bismillah ...

Btw,ada ga ya cara yang efektif untuk menghilangkan ato paling nggak mengurangi sifat ceroboh ini?

?????

Amanah

Pelajaran minggu lalu.
Esensi dari suatu pekerjaan, bukan terletak pada berat ringannya, bukan pula pada sulit mudahnya, juga bukan masalah penting atau remeh temehnya.
Tapi hakikat dari kerja adalah amanah.
Sebuah kerja, seremeh apapun tampaknya itu, tetap harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Orang boleh memandang dengan sebelah mata.
Tapi yang namanya amanah tetap harus dijalankan dengan sebaik-baiknya dan penuh tanggungjawab.
So, nikmati apapun pekerjaanmu dan jalani dengan sepenuh hati
Smangat !!!

Sunday, July 06, 2008

Kangen

Akhir pekan seperti ini biasanya muncul penyakit orang rantau, Homesick !!!
Kalo dah gitu jadi inget ma teriakan angsa yang heboh di pekarangan belakang rumah, menunggu senja sambil bercengkrama di halaman rumah bareng keluarga, menyambut pagi dengan menikmati hidangan segelas teh manis dan pisang goreng, atau sarapan nasi goreng buatan ibu bareng mbak n ade (Alamaaak jadi tambah pengen pulang nih). Yah, beginilah resiko jadi satu-satunya anak yang merantau. Saat akhir pekan semua anggota keluarga berkumpul, kita sendiri yang ga ada. Hiks ... T_T. Tapi gapapa. Harus tetep bertahan !!! Lagian ini juga buat melatih kemandirian, dan kedewasaan kok. Kalo ga gini, mungkin ga segera mandiri 'n dewasa. Moga aja bisa jadi bener-bener mandiri dan dewasa, aamiin.
Jadi sadar, bagaimanapun tanah tempat kelahiran bener-bener ga akan tergantikan.
Mbok mo dibilang gersang dan tandus, tapi bagiku tetep yang paling sejuk.
Dibilang pedalaman, tapi tetep yang paling nyaman.
Keinget pas masih sering berkendara menjelajah alamnya. Rasanya pengen mengulang lagi.
Merasakan terpaan angin lembahnya, mengagumi barisan bukit seribu yang menghiasinya, menyelami kelengangan yang mengiringi padang ilalang dan belantaranya. Hmmm, bener-bener bikin jatuh cinta deh. Narsis ya ??? emang, sengaja :p
Selain lautnya yang indahnya Subhanallah ... (Ga percaya ???, buktikan di sini, detailnya bisa lihat di sini), yang juga bikin kangen adalah suasananya.
Kebayang jelas satu tempat yang dulu sering jadi tempat 'ngadem' jika jogja dan rumah dah terasa 'gerah'.
Sebuah rumah sederhana di tempat sederhana. Yang jauhnya 35km dari rumah, yang untuk menjangkaunya harus melewati jalan bebatuan sejauh 1,5 km, yang untuk mencapai angkutan umum harus berjalan 15 menit, yang tiap kemarau masih harus membeli tangki air seharga 70 ribu tiap 10 harinya, yang suara motor jarang sekali terdengar, yang lenguh sapi dan kokok ayam dapat terdengar sepanjang hari, yang paginya berselimut kabut dengan tetes embun yang terdengar jelas.
Disanalah biasanya saya (dan ternyata ade juga) menepi, merefresh diri dari segala yang menyesakkan.
Kalo dah di tempat itu rasanya seperti di dunia lain. Terjauh dari hiruk pikuk dunia luar yang tengah ramai demo BBM, atau kisruh krisis energi dan pangan dunia yang semakin parah, meskipun imbasnya, terasa juga sampai sana.
Kehidupan disana adalah rumah, sawah, cari makan buat ternak, kelompok tani dengan tetangga dan seputar itu. Kehidupan sederhana dengan orang-orang yang juga sederhana.
Hfff, jadi kangen kesana lagi. Tempat yang begitu tenang. Tempat nenek saya menjalani hari-hari di masa tuanya.
Semoga masih diberi kesempatan untuk mengurai rindu dan merasai semuanya.



Sepenuh cinta&rindu
:luv u grandma

Tuesday, July 01, 2008

Duri dan Mimpi buruk

Hari ini aku belajar, bahwa dalam persahabatan, kita tak selamanya harus membungkusnya dengan ruahan kata cinta, juga tak perlu selalu menghiasinya dengan indah warna warni pelangi.
Ada saatnya, kita harus menjadi duri bagi sahabat kita. Duri yang tersebar di sepanjang jalan yang dilaluinya, kala kita tahu jalan itu berbahaya untuk dilewati.
Atau kita harus menjadi mempi buruk yang membuatnya terjaga, jika memang tidur tlah mulai melenakannya.
Mungkin akan terasa pahit dan menyakitkan. Bagi sahabat kita, pun bagi kita.
Butuh keberanian untuk menjadi duri ataupun mimpi buruk, karena memang tak banyak yang bisa tenang menerima suatu mimpi buruk, begitu juga jarang ada yang tersenyum saat tertusuk duri.
Namun bagaimanapun, setiap sahabat selalu menginginkan yang terbaik bagi sahabatnya. Tak ada sahabat yang rela jika sahabatnya tenggelam dalam angan yang melenakan.
Ya ... apapun reaksinya, semua bergantung dari niat. Jika niatnya tulus untuk kebaikan sahabat kita, maka yakin, semua takkan sia-sia.


2838
:fee
maaf jika tlah menjadi duri dan mimpi buruk bagi harimu

Indahnya ukhuwah

Ukhuwah memang tak mengenal ruang dan waktu.
Siang itu, kulangkahkan kaki di bawah terik, menuju suatu tempat yang belum pernah kusinggahi. Tempat yang hanya pernah kudengar namanya, namun disana tengah menunggu seorang sahabat.
Tiba di pembehentian terakhir, Alif mengabarkan kedatanganku.
”Tunggu 10 menit ya”, balasnya.
Sepuluh menit berikutnya kuhabiskan untuk berjalan-jalan, melihat berbagai barang yang berjejer di etalase.
10 menit berlalu, Si Alif kembali berdering
”Pake jilbab warna apa ?” tanyanya.
Wah, berarti ia sudah ada disekitar sini. Aku melihat sekeliling mencari dan mereka-reka sosok yang hendak kutemui.
Beberapa langkah didepanku, terlihat seseorang yang tampak kebingungan dan seperti mencari sesuatu dengan menggenggam handphone ditangannya.
Diakah ??? tanyaku pada diri sendiri.
Ah, sepertinya bukan. Tidak mirip dengan sketsa yang kuterima beberapa masa yang lalu. Aku mulai kembali mencari, hingga akhirnya tertangkap di mataku sosok yang tengah menuruni tangga. Senyumku mengembang.
Itu dia !!!
Segera kusongsong dia.
Dari senyum yang dialamatkan kepadaku, sepertinya diapun sudah bisa menebak, bahwa akulah orang yang dicarinya. Kujabat tangannya, sebuah rengkuh persaudaraan yang begitu indah.
Agak sedikit tak percaya, tapi semua nyata.
Sang waktupun berlalu, dalam kisah kami yang terus mengalir, sahut menyahut, sambil sesekali ditingkahi derai tawa.
Akhirnya ... Allahpun berkenan mempertemukan kami.

Berawal dari sebuah tulisan yang kutoreh. Itulah awal pertama ia mengenalku. Sejak itu, Silaturrahimpun terjalin lewat surat elektronik, sms dan sesekali bertukar hadiah.
Dan tahun ini ... akupun tak menyangka akan dapat bertemu muka dengannya sejak 5 tahun persahabatan kami. Demikianlah Allah berkehendak.

Ia mengeluarkan sebuah binder kecil berwarna hijau.
“Masih ingat ini ???” tanyanya.
Kuamati benda kecil itu.
“Itu ... ”
“Iya”.
Ya Allah ..., binder kecil itu, yang dulu kutitipkan untuknya, ternyata masih ada.
“Ada fotonya juga”
Aku mendekat. Bener, ada fotoku juga. Aku sendiri bahkan sudah lupa bahwa aku pernah memberi benda kecil itu. Jadi malu.

Waktu 60 menit terasa begitu singkat. Namun kesan yang tercipta begitu mendalam.
Kupandang undangan cantik warna hijau yang diberikannya di awal perjumpaan kami. Seuntai doa terhulur, mengharap keberkahan dan kebahagiaan bagi sahabatku.

: Chika
Barakallahulaka wabaraka ’alaika wajama’a bainakuma fii khoir
Terima kasih atas ukhuwahnya
Luv