Mimpiku ...

Menjadi apa adanya diriku ... Memberi yang terbaik dan terindah Tuk mereka yang tercinta

Wednesday, November 29, 2006

Just a Little Thing

Kisah pertama
Suasana bus yang penuh sesak, mengharuskanku untuk berdiri berdesakan dengan penumpang bus lainnya. Barang bawaan yang cukup banyak-tas ransel yang penuh, tas jinjing berisi buku di tangan kiri, dan tas plastik hitam berisi buah mangga hasil pekarangan rumah di tangan kanan-membuatku kerepotan. Terlebih dengan rute wonosari-Jogja yang “keren abizz”, membuatku harus terus berpegangan pada sandaran kursi atau plang besi yang melintang di atas, jika tidak ingin terbanting ke kanan-kiri-depan-belakang.
Kuputuskan untuk meletakkan plastic berisi mangga di lantai bus, supaya aku dapat berpegangan. Kutaruh ia didekat kakiku, Biar nanti mudah mengambilnya.
Akupun tak lagi memikirkan bagaimana nasibnya. Kurasa, dia akan aman-aman saja berada di dekat kakiku.
Namun, ketika hendak turun dan mengambil mangga, Lho …???!!! Plastik hitamku sudah raib! Wah, pasti “Ngglindhing” saat melewati jalan berkelok tadi.
Yah … sudahlah, mungkin memang bukan rizkiku.
Bagiku, itu bukan masalah yang berarti.
Tapi ternyata, tidak bagi orang tuaku. Setelah kuceritakan kejadian itu, mereka jadi menganggapku anak yang ceroboh (pancen ! he ..). Dan setiap kali membawa sesuatu, apalagi untuk sesuatu yang penting, pasti disuruh memasukkan ke dalam tas dan di wanti-wanti untuk hati-hati.
Mengko ndhak ilang maneh koyo peleme kae”, kata Bapak.
Walah .. walah .., wong mangga dah hilang kok ya masih diungkit-ungkit.

Kisah kedua
Saat awal-awal bisa naik motor, aku di minta nganter ibu pergi ke pasar. Dengan masih sedikit kaku, kukendarai motor dengan pelan. Alhamdulillah, sampai di pasar dengan selamat. Ada rasa puas, saat bisa menjalankan tugas dengan baik.
Nah, saatnya untuk pulang. Dengan rasa percaya diri, kulajukan motor dengan kecepatan tinggi (Baca : 50 km/jam, ^_^. Bagi pemula, rasanya itu sudah kenceng banget, lho !)
Inginnya sih menunjukkan, kalo aku emang dah bisa naik motor gitu.
Motor masih melaju dengan kecepatan tinggi (ya 50km/jam itu tadi).
Ah rumah kan masih jauh, diremnya nanti aja, kalo dah deket rumah, pikirku.
Tapi, lho .. lho … kok dah sampe depan rumah. Walah, kebablasan nih, langsung kuinjak remnya. Ibuku dah panik.
Tetanggaku yang ngelihat juga udah ketawa-tawa, gitu. Aku mah ketawa juga, geli dengan ulahku sendiri. Konyol banget sih.
Dampak dari kejadian itu, aku jadi tidak dipercaya untuk bawa motor, sehingga tiap kali mo pake motor, selalu tidak direstui.
Halah, wong dari pasar ke rumah aja kebablasan kok, mo bawa motor
Tuing … dah ga bisa komentar apa-apa lagi. Lha memang kenyataannya begitu.


Terkadang, persepsi orang tentang kita, dibangun dari hal-hal kecil, yang mungkin bagi kita sendiri itu bukan suatu hal yang penting. Tapi ternyata bagi orang lain, itu justru menunjukkan siapa dan bagaimana kita sebenarnya.
Dan sekali seseorang mempunyai persepsi yang buruk terhadap kita, maka selamanya orang akan menganggap kita seperti itu. Kecuali jika kita bisa menunjukkan dan membuktikan, bahwa kita tidak seperti apa yang mereka persepsikan. Dan untuk itu, butuh waktu, ketelatenan dan kesabaran.
Wallahu a’lam

Nah Lho ...

Suatu sore, saat tengah bertandang ke rumah teman, tiba-tiba teman saya tadi bertanya,
“Eh, kalo tiba-tiba ada yang ngajakin kamu nikah gimana ?”
Wuits !!! Kaget aku, kok langsung nodong gitu tanyanya. Mo curhat nih ceritanya ?! OK deh.
Langsung aja kujawab pertanyaan analogi itu.
“Yo tergantung dirimu, dah siap belum. Kalo dirimu dah siap ya bla bla bla”, aku ngomong panjang lebar, mencoba ngasih pandangan sesuai dengan apa yang kutahu dan kupahami selama ini. Jadinya ya, sok tahu banget gitu, wong ya sama-sama belum pernah ngalami. Sampe sama temenku dikomentari, “kowe ki koyo wong tuwo wae”, Hehe …
Ga lama setelah itu, saya silaturrahim ke temen yang lain. Sebelumnya memang sudah janjian terlebih dahulu. “Aku mo cerita”, katanya lewat SMS. Wuih laris manis.
Tahukah Anda, apakah ceritanya ?
Hampir sama dengan cerita teman yang pertama. Mirip banget. Saya sampe geleng-geleng kepala dan senyum- senyum sendiri. Subhanallah …
Masa dalam waktu kurang dari setengah sehari, ada dua orang bercerita yang sama. Mau ga mau jadi bertanya-tanya dalam hati, Apa yang ingin Kau sampaikan padaku dengan peristiwa ini Ya Rabb ??? (Ternyata …)
Akhirnya kami malah berdiskusi tentang menikah dan segala permasalahannya. Cukup seru juga, jadi dapet pengetahuan baru nih.
Keesokan harinya, saya silaturrahim ke rumah dua orang sahabat yang lain di daerah Bantul dan Magelang. Lagi-lagi yang dijadikan topik pembicaraan adalah masalah NIKAH !!!
Allah Kariim. Nih anak, dah pada mo nikah semua kali ya, kok nikah melulu yang diobrolin, batinku. Aku sampe kenyang. Asli !
Tapi yah, aku bisa maklum, wong yo wis wayahe.
Membicarakan persoalan nikah, dalam tataran teori memang mudah.
Nikah tuh harusnya begini, prosesnya baiknya begitu, walimahannya hendaknya beginu dan sebagainya. Itu idealnya.
Tapi ketika mulai melangkah ke tataran praktis, Upss, teorinya mental semua.
Baru seperempat langkah aja, dah gedubrakan nyari referensi yang shahih.
Nikah memang bukan masalah yang mudah, karena nikah tidak hanya menyatukan dua insan tapi menyatukan dua kehidupan, begitu kata temenku.
Makanya dari sekarang perlu dipersiapkan segala sesuatunya. Ya maknawiyahnya, ya kafaahnya (terutama masalah kerumahtanggaan), ya mental psikologinya, ya finansialnya, ya komunikasi dan pewacanaan kepada ortunya, pokoknya banyak hal.
Jadi ya, jangan cuma pengen thok, tanpa kemudian diiringi dengan upaya-upaya persiapan yang matang.
Jangan sampai terjadi, saat dah pengen banget, doanya juga dah kenceng, eee pas gilirannya datang, nyalinya menciut gara-gara sadar bahwa banyak hal yang belum dipersiapkan.

Nah lho ?!

Wednesday, November 22, 2006

Being An Aunty

“Ass. Ponakanmu wis lahir, wedok, 2900gram, mau jam 16”.
Pesan singkat itu kuterima di suatu senja hari ke-16 bulan ini.
Subhanallah, Wa Alhamdulillah wa Laailaha ilallah Allahu Akbar …
Ungkapan syukur dan bahagia, spontan terucap.
Akhirnya keluar juga si Dede, setelah mundur 5 hari dari HPL yang ditentukan.
Saat memandang wajah imut kecilnya, kaki kecilnya, tangan kecilnya, hidung kecilnya, semuanya serba kecil ! Begitu lucu dan menggemaskan.

Subhanallah … ga kebayang rasanya. Ada bahagia, haru … wah pokoknya Luar biasa deh, jadi speachless nih.
Subhanallah … Subhanallah … Ar Rahmaan, Ar Rahiim, Al Mushawwir.
Sebuah keajaiban kecil, bukti keMaha Kuasa-anNya

Oya, rencananya si dede kecil mo dinamain Aika Qathrunnada.
Nama yang aneh, pikirku ^_^. Kedengarannya seperti grup nasyid ?
"mungkin lama-lama jadi kedengaran bagus kali ya ?!" Komentar eyang Uti nya (Maksude ????).
Kata Abinya, Aika itu artinya pohon yang lebat, sedang Qathrunnada artinya setetes embun penyejuk. Harapannya, kelak dia bisa jadi embun penyejuk bagi agama, ummat dan orang-orang disekitarnya.
Yup! Paling tidak, saat ini, kehadirannya telah mampu menjadi embun penyejuk bagi Aunty-nya yang tengah dilanda kebingungan, kebimbangan dan kegalauan yang sejak seminggu terakhir ini terus menggelayut T_T.
Anyway, selamat datang dede kecilku …
Semoga jadi anak yang sholihah, yang mempu menjadi penyejuk mata bagi kedua orang tuanya. Aamin.

Waaaaah dah jadi Aunty nih sekarang …. Cenengna !!! ^_^

Thursday, November 16, 2006

Memahami hidup

Akhirnya bisa posting lagi, setelah beberapa waktu kemarin sempat vakum karena libur ramadhan dan disibukkan dengan midterm. Alhamdulillah midnya dah kelar, semoga hasilnya bagus deh. Aamin.
Ngomong-ngomong soal kuliah, jadi inget celetukan seorang sodara,
"Hari gini masih kuliah ...", aku sih nyengir aja ndengernya.
"Yo ben, kan istiqomah, huehehe", jawabku asal. Penggunaan kata istiqomah yang tidak pada tempatnya. jangan ditiru ya ^_^.
Tapi memang sekarang lagi belajar istiqomah kok. Dan ternyata super duper berat. Perlu sebuah azzam untuk bisa istiqomah. Namun seberat apapun itu, tetap harus dijalani, karena untuk dapat melanjutkan ke fase berikutnya, harus berhasil melewati fase ini dulu, so, mau tidak mau ya harus dijalani.
Yah ... masa kuliah ini memang benar-benar masa yang luar biasa. Satu masa pembentukan karakter dan pencarian jati diri. Banyak sekali ibroh yang dapat diambil.

Di tahun pertama aku belajar memahami arti perbedaan. Ternyata di dunia ini ada begitu banyak warna dan itu bukanlah hal yang harus dipermasalahkan. Perbedaan adalah keniscayaan, sehingga perlu kebijaksanaan untuk menyikapinya. Satu hal yang berusaha kutanamkan dalam diri, bahwa perbedaan, bukanlah alasan untuk sebuah perpecahan, dan bukanlah hambatan untuk sebuah persaudaraan. Bukankah dengan adanya banyak warna, dunia akan semakin semarak ?


Tahun kedua aku belajar memaknai arti kehilangan dan persahabatan. Sungguh, kita tak akan pernah tahu apa yang kita punyai, sebelum kita kehilangan. So, jangan menunda tuk berbagi cinta kepada orang-orang disekeliling Anda, sebelum akhirnya mereka pergi, dan tak ada akan lagi kesempatan bagi kita tuk mengungkapkan pada mereka, betapa berarti dan berharganya mereka bagi hidup kita.

Paruh kedua tahun ini, aku belajar untuk berani mengambil sikap, meski cenderung nekat dan tanpa perhitungan. Niatnya sih pengen nunjukin kalo dah dewasa, tapi ternyata justru semakin menunjukkan kalo aku masih kekanakan banget. Ngambil keputusan penting dalam hidup, tanpa pertimbangan siapapun !!! (Pancen nekat tenan bocah iki !). Akhirnya malah membuat kesalahan yang cukup fatal dan berdampak sampai saat ini. Tapi justru dengan itu, aku memetik satu pelajaran, bahwa berbuat salah itu bukan suatu kesalahan, karena dengan berbuat salah, kita jadi bisa belajar dari kesalahan kita, yang mungkin tidak akan kita dapatkan jika kita tidak berbuat salah. Nah lho, bingung kan ? Intinya, jangan takut untuk melangkah, jangan takut gagal, jangan takut dinilai dan jangan takut untuk berbuat salah.

Tahun ketiga, aku belajar untuk menerima kekalahan. Yah ... tidak semua keinginan harus terpenuhi. Apa yang telah Allah beri, tidak akan luput dari kita, dan apa yang telah Allah tahan, maka tidak akan sampai kepada kita. Terkadang, hidup memang sulit untuk dapat dimengerti. Tapi satu yang harus tetap kita pegang, selalu berkhusnudzon atas setiap ketentuan Allah dan yakin akan keMaha Adil-an Allah. Yakin, Allah tak akan pernah mendzolimi hambaNya. Lagipula, apa yang kita anggap baik, belum tentu baik di sisi Allah. Aku yakin, Allah pasti punya rencana yang indah bertabur hikmah di balik setiap peristiwa yang kita alami.

Paruh kedua di tahun ketiga, aku belajar akan makna dan arti keberartian diri. Bahwa ketika eksistensi kita di dunia ini tidak mampu untuk memberikan 'sesuatu' terhadap hidup dan kehidupan yang dianugrahkan pada kita, maka sia-sialah adanya kita.
"Khoirunnas, anfa'uhum linnas", sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya.
Satu kalimat yang selalu memompakan semangat di dalam jiwa untuk selalu berbuat dan terus berbuat, untuk memberikan apa yang diri mampu bagi kemanfaatan sesama, hatta itu hanya seulas senyum atau menampakkan wajah yang cerah.(Sampai dikira kagak pernah punya masalah, padahal ya bertumpuk-tumpuk).

Tahun keempat, aku belajar untuk survive. Yup, bertahan di atas semua yang telah digariskan untukku. Bagi seorang ksatria, tidak ada kata menyerah dan putus asa dalam hidupnya. Yang ada hanyalah keyakinan untuk tetap bertahan dan terus berjuang dengan segenap jiwa dan raga, cieee. Yah, begitulah. Ayo semangKa ... SemangKa ... ( SEMANGat seKAli maksudnya ).


Kini ... , aku tengah belajar mencintai. Ya ... mencintai segala hal yang kudapatkan. Mencintai diriku dengan segala kekurangannya, mencintai bidang studiku dengan segala kerumitannya, dan mencintai hidupku dengan segala lika-likunya. Tanpa kusadari, semua merupakan anugrah terindah yang pernah kumiliki.


Yup! saatnya meniti hari bersama Pearson, Rao, Erlang, Liliefors, Smirnov, Wallis dkk. Serta berusaha memahami arti kehadiran multikolinearitas, autokorelasi, memoryless Property dan homoskedastisitas dalam hidupku. (Apa coba?!)


Thank You Allah, for all the best thing i have