Mimpiku ...

Menjadi apa adanya diriku ... Memberi yang terbaik dan terindah Tuk mereka yang tercinta

Friday, January 26, 2007

Prasangka

Perempatan lampu merah, suatu pagi.
"Mbak, tasnya kebuka".
Sebuah suara memanggilku dari arah belakang.
Segera kulihat tasku yang ternyata memang dalam keadaan terbuka. Setelah menutupnya, kualihkan pandangan ke orang yang telah mengingatkanku tadi, sekedar ingin mengucapkan terima kasih. Oh ternyata temen seasramaku. Segera kulepas slayerku dan memberi seulas senyum.
Tiba-tiba saja, ekspresi wajahnya berubah setelah melihatku. Tampak kaget bercampur heran.
Akupun ikut terheran-heran melihat perubahannya. Tapi tetep saja kusapa dan sedikit berbasa-basi.
Tak lama kemudian baru kusadari apa yang menyebabkan ekspresi temenku jadi berubah.
Ups...!, aku lupa kalo saat itu aku lagi jalan bareng ade'. Terang aja dia terheran-heran. Gimana nggak heran, kalo lihat seorang akhwat yang sedang berboncengan dengan seorang laki-laki. Langsung aja kuambil langkah pencegahan supaya temenku tidak berprasangka. Sama seperti yang pernah dilakukan Rasulullah, ketika
tengah berjalan dengan salah seorang istri beliau yang mengenakan cadar dan kemudian berpapasan dengan dua orang sahabat. Saat itu beliau langsung mengenalkan bahwa itu adalah istri beliau, meskipun para sahabat tidak bertanya, dan tidak akan berprasangka yang buruk terhadap Rasulullah. Namun Rasulullah melakukan itu supaya menjaga tidak terjadinya fitnah, mengingat syetan sangat gemar membisikkan bisikan-bisikan yang negatif kedalam hati maupun pikiran manusia.

"Ini Ade'ku", kataku sambil menunjuk ade' yang memegang kemudi di depan.
"ooo", katanya sambil tersenyum.
Alhamdulillah, kesalahpahaman akhirnya bisa dihindari.
Begitulah yang sering terjadi. Saat sedang jalan bareng ade', trus berpapasan dengan orang-orang yang kukenal, pasti ekspresinya menunjukkan kekagetan. Dan herannya, ekspresi mereka itu hanya sampai pada kaget itu tadi atau hanya sekedar memberikan senyum yang penuh arti, tidak kemudian menanyakan atau mencari kejelasan. Kalau hanya diam seperti itu, justru akan berpotensi memunculkan terjadinya dzon-dzon yang buruk terhadap saudara.
Saya cukup salut dengan sikap seorang akhwat di kampus.
Waktu itu, saat tengah ada keperluan dengan ade' di kampus, lewatlah seorang akhwat yang memang kenal denganku. Akhwat itu tersenyum sambil bertanya
"Ade'nya ya mbak ?"
"Iya", jawabku.
Kalau dipikir-pikir, pertanyaan itu sangat cerdas. Soalnya begini. Kalaupun orang yang sedang berkhlawat itu bukan mahram, maka pertanyaan itu bersifat sindirian atau peringatan halus, bahwa seharusnya seorang wanita dan seorang laki-laki yang bukan mahram itu tidak boleh berkhalwat. Tapi kalau memang mereka itu mahram, pertanyaan itu bisa sabagai bentuk tabayyun, mencari kejelasan hingga nantinya tidak ada prasangka buruk yang muncul.
Jadi, apapun hasilnya, akan berdampak positif. Cuma sayangnya, tidak banyak orang yang mempunyai keberanian seperti akhwat tadi. Mungkin karena rikuh, pakewuh, malu dan takut menyinggung perasaan, kebanyakan orang memilih untuk diam dan bermain dengan asumsi masing-masing.

Saat saya cerita ke seorang saudara tentang hal ini, beliau sambil sedikit bergurau berkata,
"Ya udah, kalau mo kemana-mana bareng ade', bawa tulisan aja. Ditulis yang gedhe-gedhe 'INI ADE' SAYA LHO' ".
Walah walah, kok susah amat ya ...

Wednesday, January 24, 2007

Arti sebuah Nilai

Suatu siang, saat tengah rehat sejenak bersama seorang saudara, di salah satu sudut masjid.
Sejuk semilir angin membuat betah untuk berlama-lama duduk disana. Sementara di luar, matahari Ramadhan begitu teriknya.
Sambil menghilangkan kantuk yang menghinggapi, kucoba mengedarkan pandangku ke sekeliling. Tampak orang-orang dengan aktivitas masing-masing. Ada yang sedang tilawah, ada yang tengah melepas lelah, sebagian sedang asyik berdiskusi dalam kelompok-kelompok kecil. Semuanya wanita, karena memang di masjid itu, aktivitas bagi muslimah, baik itu syuro’, kajian, ataupun sholat, dikhususkan di lantai dua.
Tiba-tiba saudara saya tersebut berkomentar,
“Akhwat-akhwat yang subhanallah”.
Aku tersenyum mendengar komentarnya. Sebenarnya sih paham apa yang dimaksud, sebuah ungkapan kekaguman. Tapi kalo dilihat dari arti bahasanya, kan jadi wagu, aneh gitu. Tapi karena dah jadi kebiasaan, lama-kelamaan ya jadi ga aneh lagi.
Lalu, kamipun sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Tiba-tiba saja muncul pikiran asal dibenakku.
“Eh mbak, kalo ada akhwat yang subhanallah, ada nggak ya akhwat yang astaghfirullah atau akhwat yang Innalillahi ?”, kataku sambil tersenyum usil.
Temenku tersenyum terpingkal-pingkal (gimana coba ?) sambil berkata,
“Kalo aku mah akhwat yang Allahu Akbar saja”.
Lho ???, jadi ngaco semua nih.
Sekedar intermezzo aja. Tapi setelah itu aku jadi kepikiran pada apa yang baru saja kami bicarakan tadi.

Menilai orang lain …
Tanpa sadar kita sering melakukan kegiatan ini, baik secara institusional maupun secara individu. Menilai sikap seseorang, kepribadiannya, kerjanya, aktivitasnya, sifatnya, penampilannya dan lain-lain. Tak jarang, kita justru terjebak untuk memberi label pada seseorang. Oo,si A itu begini, si B itu begitu dan seterusnya. Kalo labelnya baik sih ga masalah, tapi kalo labelnya buruk, itu yang jadi masalah. Padahal sekali label dipasang, susah untuk dicabut kembali.
Sekilas, masalah ini tampak sepele, tapi bisa menimbulkan dampak yang cukup serius.
Bagi orang yang dinilai, hal ini bisa mengikis sedikit demi sedikit bangunan keikhlasan yang telah dibangunnya. Ini terjadi saat seseorang itu meniatkan amalnya hanya agar mendapat penilaian yang baik dari manusia, dan bukan karena Allah. Dan, ketika amalan itu tidak mengandung nilai ikhlas, sia-sialah semuanya. Sayang banget kan ?!
Bagi orang yang menilai, masalah ini bisa menggiringnya ke arah ghibah dan fitnah. Ini terjadi ketika penilaian itu hanya berdasar pada prasangka tanpa mengedepankan etika bertabayyun. Biasanya, orang terlalu cepat menarik kesimpulan, hanya berdasarkan pada sekelumit informasi yang didapat dan dari apa yang tampak di sisi luarnya. Padahal kan, apa yang dilihat, didengar dan dirasa oleh indra kita, belum tentu bisa menggambarkan apa yang ada di kedalaman dalam hati seseorang. Karena, wilayah hati adalah wilayah Allah. Manusia tak mempunyai daya dan kemampuan tuk mengetahui secara pasti apa yang ada dalam hati seseorang.
So, kalo menurutku sih, wewenang menilai itu hanya ada pada Allah, karena Dia adalah zat Yang Maha Mengetahui. Sedangkan manusia hanyalah makhluk yang begitu lemah dan penuh keterbatasan.
Oya, satu lagi. Masih ingat dengan kisah ayah dan anak yang ingin menjual keledainya ?
Pelajaran penting yang bisa kita ambil dari kisah tersebut adalah bahwa penilaian manusia tidak selalu bisa dijadikan acuan atau dasar dalam mengambil sikap atau melakukan amal. Karena, penilaian manusia bersifat nisbi, relatif dan subyektif. Satu waktu bisa dinilai baik, tapi diwaktu lain bisa merubah menjadi buruk. Atau bisa jadi bagi seseorang itu baik, tapi belum tentu bagi orang lain.

Jadi, cukup penilaian Allah saja yang kita jadikan acuan, dan cukuplaaah Allah saja yang menjadi penilai bagi segala aktivitas kita.

Friday, January 19, 2007

Kehilangan


Pagi itu aku tengah harap-harap cemas menunggu kepulangan azzam, partner kerja sekaligus temanku beraktivitas. Pasalnya sejak dari kemarin sore dia belum pulang juga. Biasanya kalo dibawa mabit, jam 9 atau jam 10, sudah berada di asrama, tapi ini, sudah lewat jam 11, sosoknya belum juga nampak.
Hfff, memang benar kata orang. Menunggu adalah hal yang tidak mengenakkan. Terlebih menunggu untuk sesuatu yang tidak pasti seperti ini. Dapat dimaklumi bagaimana perasaan keluarga para penumpang Adam Air yang sampai sekarang belum mendapatkan kejelasan mengenai nasib keluarga mereka. Terkadang sebuah kepastian, meski itu menyakitkan adalah lebih baik dari pada terombang-ambing dalam ketidakpastian.
Dan akupun mulai menjadi tidak tenang. Tiap kali ada motor yang datang, kuharap itu adalah temanku yang membawa serta si Azzam. Eh ternyata bukan. Mulai deh muncul pikiran-pikiran buruk. Jangan-jangan, kecelakaan. Atau jangan-jangan ... hilang !!!
Oh Tidaaaaakkk!!! apa yang akan kukatakan kepada orang tuaku nanti ?! (halah sinetron banget).
Segera kutepis segala pikiran negatif itu dan kutenangkan diriku.
Tak berapa lama kemudian, muncullah temenku dengan roman muka yang begitu tampak lesu. Kusambut hadirnya dengan senyum kelegaan. Saat melihatku, ia berkata "Ada yang ingin kuceritakan padamu".
"Ono opo je ?", tanyaku dengan perasaan tidak enak yang muncul kembali. Jangan-jangan ...
"Apakah kamu ada firasat buruk hari ini ?", dia kembali bertanya.
Doeng..., nah kan bener. Pasti ada sesuatu yang terjadi nih.
"Nggak tuh", kataku sambil menata hati untuk menerima kemungkinan yang terburuk, Hiks ... T_T.
Akhirnya dia bercerita mengenai musibah yang tengah menimpa dirinya. Ada orang tega yang mengambil barang-barang nya, termasuk... kunci plus aktanya si Azzam ! Innalillahi ...
Ada duka yang menyembul di wajahnya. Jadi ga tega melihatnya.
"Sudahlah, kamu istirahat dulu sana, biar tenang pikirannya". Aku mencoba memberi saran. Habis bingung juga mo bilang apa. Paling bingung nih kalo ngadepin situasi seperti ini. Mo bilang "Sabar, ya ...", ah rasanya klise banget gitu. bilang sih mudah, tapi prakteknya sangat sulit. Kata Rasulullah, Sabar itu pada benturan yang pertama. Dan itu, beratnya luarrr biasa !

Kaget juga sih ndenger penuturannya. Tapi ada kelegaan yang menyusup. Alhamdulillah, temenku nggak apa-apa. Alhamdulillah hanya akta dan kuncinya yang hilang, bukan Azzamnya.

Tiap kali terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan seperti ini, selalu membuatku berpikir dan introspeksi diri. Adakah sesuatu yang salah telah kuperbuat ???
Jadi teringat, dulu pernah mendapat taushiyah, bahwa musibah itu bisa berarti ujian, peringatan atau hukuman.
Ujian adalah untuk menguji sejauh mana kadar keimanan seorang hamba kepada Allah beserta qadha' dan qadarNya. Dan menguji seberapa jauh kesabaran yang dimiliki oleh seorang hamba. Peringatan adalah sebagai bentuk teguran dari Allah atas kesalahan atau kekhilafan yang diperbuat hambaNya, dengan harapan agar hamba tersebut bisa menyadari kekhilafannya dan mau memperbaiki kesalahannya. Hukuman adalah bagian dari ketetapanNya atas kesalahan yang dilakukan oleh hambaNya. Hampir sama dengan peringatan, tapi kalo hukuman terasa lebih keras dari sekedar peringatan.

Bagaimana menyikapinya, tergantung masing-masing orang. Yang jelas, ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh Allah, lewat musibah tersebut. Tinggal bagaimana kita mampu dan mau menyibak tabir hikmah dibalik setiap musibah.

:seorang teman
Allah menyayangimu, sist

Saturday, January 13, 2007

aneh ...

"Mbak ni, kok pulang terus sih ???".
Kadang sebel juga ndengernya (jujur nih). Pertanyaan inilah yang sering dilontarkan temen-temen baik yang pernah atau tengah satu kost denganku, mengingat seringnya aku naik turun gunung hampir tiap minggu. Dari yang jaman SMU sampe jaman hampir lulus ini, ada saja yang komplain dengan kebiasaanku ini.
Menurutku sih, itu pertanyaan yang aneh, pikirku. Lha wong rumah cuma deket gitu kok ya ga boleh bolak-balik. Justru kalo jarang pulang, itu yang mesthi dipertanyakan, sanggahku (dalam hati, :p).
Mungkin beginilah resiko punya rumah yang tanggung. Kalo dilaju kejauhan, kalo kost ya sebenernya ga terlalu jauh. Beda sama yang rumahnya emang bener-bener jauh, semisal Kalimantan, atau Sumatra gitu. Wajar kalau mereka jarang pulang. Lha kalo aku disuruh jarang balik rumah, rasanya kok ya aneh gitu. Mo dibilang anak mami, eh anak ibu, ya silahkan, emang anak ibu kok.
Kadang jadi bertanya-tanya dalam hati, memang sebenarnya kenapa tho ? Apa ada yang salah ?
Sebenarnya sih, alasan utama kenapa kok jadi sering pulang tuh lebih kepada tanggung jawab, baik kepada ortu maupun kepada yang lainnya. Selain itu, ga da yang tahu apa yang terjadi esok. Siapa tahu tiba-tiba ada yang ngajakin kita pergi merantau ke negri sebrang gitu, kan jadi ga bisa sering-sering balik rumah tuh. Makanya, mumpung masih bisa pulang seminggu sekali, ga da salahnya pulang ke rumah, nengok ortu dan membersamai adik-adik disana. Lagipula kalau keberadaanku berakhir pekan dirumah lebih ada manfaatnya daripada menghabiskan akhir minggu di asrama, kan ya lebih baik pulang, he ...
Wathever lah, setiap orang kan punya pendapat masing-masing, dan begitulah pendapatku.
Yah ...semoga tidak menimbulkan prasangka yang iya-iya saja deh