Mimpiku ...

Menjadi apa adanya diriku ... Memberi yang terbaik dan terindah Tuk mereka yang tercinta

Monday, April 04, 2011

LDR

Mungkin istilah ini sudah sering di dengar.
Ya … Long Distance Relationship alias hubungan jarak jauh. Ternyata menjalani hubungan jarak jauh ini susah-susah gampang. Kalo dipikir-pikir kayaknya bisa lah, tapi setelah dijalani ????
Teman saya pernah cerita. Dulu awal sebelum menikah, ia berpikir akan mudah menjalani hubungan jarak jauh ini, mengingat dia dan suaminya terpisah oleh pulau yang nggak mesti sebulan sekali bisa ketemu. Ternyata setelah dijalani ya kerasa berat juga. Karena nggak gampangnya ini, salah seorang teman menyarankan kepada teman lain untuk berpikir masak-masak sebelum menjalani LDR. Beberapa teman kantor pun mendeklarasikan diri untuk enggan menjalani LDR ini. “Paling nggak setiap hari tuh ketemu gitu”, begitu katanya. Yang lain menimpali “Yang jelas aku nggak mau yang part time”, hehe, emangnya kerja apa ya ??
Teman saya dulu sering ngasih pandangan dan sharing pengalamannya menjalani LDR ini. Sayapun sedikit banyak belajar darinya. Tapi akhirnya, saya harus menjalani juga proses LDR ini, meski untuk sementara.
Kesannya ???
Luarrr Biasa …. Rame banget rasanya, kayak Nano-nano. Ada manisnya, asemnya, asinnya juga pahitnya. Jadi inget dag dig dugnya saat menjelang bertemu (ehm…) sedihnya saat pagi subuh harus nganter pulang ke stasiun, kangennya saat lama ga ketemu. Lebih-lebih saat Aufa mulai hadir. Keadaan fisik yang semakin payah, karena harus “nggendong” Aufa kemana-mana,membuat suasana hati jadi lebih sensi. Dikit-dikit marah, dikit-dikit ngambek, dikit-dikit nangis. yah pokokya seru deh.
Kalo lagi “nyadar” ngejalaninnya enjoy aja. Yah memang ini yang harus kami jalani. Lagian kan untuk sementara. Insya Allah bisa. Suami juga sering-sering ngingetin untuk banyak-banyak bersyukur, mengingat banyak pasangan lain yang kondisinya jauh lebih berat dari yang kami alami. Tapi kalo lagi ngedown, ugh rasanya pengen nangiiiss. Ngerasa sepi, ngerasa sendiri. Sempet ada yang nanya ke saya, “mbak kok berani banget. Nggak takut ya mbak. Nggak kesepian ya . Trus kalo lagi sendiri gitu ngapain mbak ???” (wajar kalo tetangga bilang begitu, secara di kontrakan kami memang sengaja tidak diberikan tempat untuk TV mengingat fungsi kebermanfaatannya masih kami ragukan). Saya jawab aja pake senyum, he ... . Pernah juga waktu habis beli sate sendirian malem-malem, tetangga nyapa, “dari mana mbak ?”, “beli sate”, jawab saya. “Aduuhh kasihan, dulu waktu saya hamil, mau apa-apa tinggal makan mbak. Suami saya yang saya suruh belikan. Jadi kitanya enak”. Lagi-lagi saya tersenyum. Getir. Pasalnya gara-gara pernyataan selintas tadi, saya yang tadinya merasa enjoy, kuat, tangguh dan tidak ada masalah dengan LDR ini, tiba-tiba jadi merasa menjadi orang paling menderita. Kasihan banget ya diriku ... Huhuhu, sedih banget deh. Tapi kemudian semua kesedihan saya dapat ditawarkan oleh suara suami saya di seberang telepon yang mencoba meyakinkan saya, bahwa insya Allah semua ini akan menjadikan anak kami nantinya, menjadi pribadi yang kuat, kokoh dan tangguh, Aamiin.
Ya .. telepon. Mungkin saya harus berterima kasih banyak terhadap benda satu ini. Karena berkat telepon, saya jadi ga terlalu kesepian Gimana enggak, bangun tidur habis sholat subuh sampe tiba di kantor, telepon. Siang waktu Istirahat, telpon bentar. Kadang pas kerja pun sambil telepon, he… Temen-temen sih dah pada maklum, penganten baru gitu. Habis itu, dari jam 8 malam sampe menjelang tidur, bahkan sampe saya ketiduran pun masih telepon. Total bisa 7-8 jam sehari. Emang ngobrol apa aja sih ? tanya teman saya. Ya apa aja. Ada saja yang dibicarain. Sampe ga kerasa dah berjam-jam. Jadi ya ngerasa ga sendiri gitu. Makanya tiap ada promo telepon murah langsung ganti kartu. Sampe di complain sama temen-temen, “kamu itu nomornya yang mana sih ??”, habisnya hampir semua operator saya punya kartunya, hehehe…
sahabat sesama LDR-ers (maksa banget sih) pernah ngasih tahu, salah satu cara mengatasi kangen adalah dengan justru mengurangi intensitas interaksi. Mmm apa iya ya ??? Saya lalu tergelitik untuk mencoba. Waktu saya usulkan ke suami, beliau dengan bijaknya (ehm..) menjawab, “ya setiap orang punya cara sendiri-sendiri, kalo saya pribadi cenderung lebih tenang jika interaksi itu terjalin secara intens. Paling nggak Mas jadi bisa tahu kondisi ade’ disana baik-baik saja, Mas juga bisa bercerita tentang aktivitas Mas disini, jadi ade’ bisa tahu apa saja yang Mas lakukan disni. Dengan begitu harapannya ade’ bisa percaya dan tidak berprasangka dengan Mas”. Setelah dipikir-pikir betul juga ya. Memang godaan terberat orang yang menjalani LDR adalah munculnya prasangka. Makanya salah satu cara mengatasinya adalah dengan mengintenskan interaksi dan komunikasi. Wong kadang, komunikasi sudah intens saja masih bisa muncul prasangka. Lagipula saya juga ga bakalan tahan kalo ga ditelpon sehari saja, hehe.
Jadi, bagi yang tengah atau akan menjalani LDR, tips dari kami adalah (cie… cie… yang merasa sudah berpengalaman),ya sebenarnya ga juga sih, hanya ingin berbagi pengalaman, gitu. Ini nih tipsnya … Jreng….
1. Jalin komunikasi
Memang benar, dalam sebuah hubungan atau relasi, komunikasi memegang peranan penting bagi kelangsungan hubungan tersebut. Kita pastinya tahu, pria dan wanita mempunyai perbedaan yang banyak dalam berbagai hal. Karena itu untuk menyelaraskan perbedaan tersebut diperlukan komunikasi. Setiap kita punya pola komunikasinya masing-masing. Dan itu unik. Sebuah pola komunikasi yang berhasil diterapkan pada satu pasangan, belum tentu berhasil bila diterapkan pada pasangan lain. Semua tergantung dari pribadi masing-masing. Jadi, coba temukan pola komunikasi yang sesuai dengan pribadi kita dan kita bisa nyaman dalam menjalaninya.
2. Kepercayaan dan Positive Thinking
Ini juga penting nih. Tanpa ini, kita bakalan tersiska eh tersiksa oleh prasangka kita sendiri. Kalo ada yang menjadi ganjalan di hati, mending langsung komunikasikan saja. Biar plong, biar lega. Kalo perlu nangis sekalian. Jadi semuanya jelas, nggak lagi bergulat dengan prasangka yang belum tentu kebenarannya.
Memang berat menjaga kepercayaan pada masa seperti ini. Terlebih, ini Jakarta gitu loh, semuanya ada disini. Mau yang model kayak apa juga ada. Istilah temen saya “Kucing kalo dikasih ikan didepannya setiap hari, gimana coba Er”. Saya tertawa aja mendengarnya “memangnya suami kita kucing”.
Pada akhirnya ya Pasrah Lillahi ta’ala. Toh suami kita bukan milik kita sepenuhnya. Tapi ia adalah milik Allah. Jadi saat suami melangkah meninggalkan rumah, iringi langkah suami kita dengan doa. Semoga segala urusannya dilancarkan dan dimudahkan, semoga kerja dan apa yang dihasilkannya barakah, dan semoga tetap dalam penjagaan Allah. Aamiiin
3. Selalu melihat ke atas
Saat kita mulai berat menjalaninya, berkacalah pada mereka yang kondisinya lebih berat dari yang kita alami. Itu akan menjadikan kita merasa bahwa apa yang kita jalani saat ini masih belum seberapa bila dibandingkan dengan pasangan lain dan bahwa kita tetap harus bersyukur terhadap apa yang telah Allah karuniakan pada kita. Dengan begitu kita bisa jadi lebih ringan dalam menjalaninya.
4. Mmmm apa lagi ya ... Mungkin itu aja kali yah ... Selebihnya yah bisa coba dirasakan sendiri deh ...
Begitulah ....
Alhamdulillah, sekarang dah ga LDR lagi. Bisa melewati semua itu merupakan kebanggaan tersendiri bagi saya. Alhamdulillah ... ternyata saya bisa !!!
Jadi, Long Distance Relationship ????
Mmmm, nggak lagi deh ... makasih ..., hehe ...

040411
:Kom yang segera akan LDR
Bismillah ... Laa haula wa laa Quwwata Illa Billah ...

Pelajaran Ilmu Ikhlas ...

Ikhlas, memang sebuah kata yang implementasinya tak semudah pengucapannya.
Jadi inget, dulu pernah dapat tips salah satu cara untuk melatih diri agar ikhlas.
Jadi begini, ketika kita sedang puasa, kita beli makanan atau minuman yang paling kita ingini saat itu. Lalu saat menjelang berbuka, hidangkanlah makanan or minuman favorit kita tersebut di ruang tengah, ruang TV atau ruang tempat biasa untuk ngumpul di rumah itu.
Nah, saat sudah banyak orang yang ngumpul, dan sudah tiba saatnya berbuka, maka tawarkanlah makanan or minuman itu ke orang-orang yang sedang berkumpul. Biarkan mereka menyantapnya sampai habis. Sementara itu, kita harus berusaha sebisa mungkin untuk tidak memakan atau meminumnya meski sekedar mencicipinya.
Grrrrrhhhhh, kebayang kan rasanya ???
Kalau kita bisa melakukannya tanpa sedikitpun rasa kesel ataupun dongkol di hati, itu artinya kita lulus ujian ilmu ikhlas. Tapi kalo kita masih ada rasa sedih, kesel atau dongkol dalam hati, itu artinya kadar keikhlasan kita masih belum 100%.

Begitulah ...
Pelajaran ilmu ikhlas pula yang menjadi tema pada ramadhan tahun 2008 lalu (bagi saya khususnya).
Berawal dari rasa kesal dan jengkel akan sesuatu yang sebenarnya nggak ada hubungannya secara langsung terhadap diri saya. Dan sebenarnya lagi, saya nggak ada alasan untuk jadi kesal ataupun jengkel. Cuma ya karena saya manusia biasa, yang masih punya rasa, akhirnya jadilah saya kesel dan jengkel yang ga jelas juntrungannya.
Namun rasa jengkel dan kesal itupun mengantarkan saya pada satu kesadaran, bahwa segala sesuatu itu sudah ada takaran dan ukurannya.
Sepertinya selama ini saya terlalu memaksakan diri dan keadaaan agar sesuai dan searah dengan keinginan saya. Padahal dari pertanda-pertanda yang ada, sudah menyiratkan bahwa keinginan saya tersebut tidak sejalan dengan Blue Print yang telah Allah tetapkan bagi hidup saya. Tapi dasar sayanya ngeyel, saya pura-pura tidak tahu, nggak ngeh, terhadap sinyal-sinyal yang telah Allah kirimkan kepada saya tersebut. Ceritanya tuh menipu diri sendiri gitu.
Tapi lama kelamaan, capek juga menipu diri sendiri. Saya mulai merasa jenuh, jengah, lelah dengan segala keinginan saya yang begitu tinggi, dengan semua mimpi saya yang tak lagi membumi.
Dan puncaknya adalah sore itu. Ketika sebuah peristiwa kembali diperlihatkan Allah kepada saya. Kebenaran yang (agak) menyakitkan bagi saya, yang membuat saya kesal dan jengkel tak beralasan, tapi juga mampu menyadarkan saya atas ego saya selama ini. Bahwa semuanya tak seindah yang saya bayangkan.
Hffff .. Sudahlah Nen ... Ikhlaskan ...
Bujuk saya dalam hati.
Dan akhirnya sayapun pasrah.
Bismillah ... kupasrahkah inginku kepadaMu ya Rabb, biar luruh, lebur dalam ketetapanMu ...
Yup !!! saya telah mamutuskan. Maka sayapun harus me-reset cara berpikir dan cara pandang saya mengenai hakikat sebuah keinginan. Saya harus menelaah kembali ingin-ingin saya yang lain, merevisi atau bahkan men-delete keinginan yang tidak efektif, yang tidak sebanding antara energi yang dikeluarkan untuk mewujudkannya ataupun hanya sekedar untuk berharap, dengan peluang akan terwujudnya keinginan itu.
Bukanlah hal mudah untuk beranjak dari mimpi yang telah saya bangun beberapa masa terakhir ini. Tapi dengan keikhlasan, semua jadi terasa lebih ringan. Saya jadi lebih legawa, tidak terbebani dengan ego dan keinginan yang akan selalu menyesaki di sepanjang perjalanan hidup ini.
Saya kembali harus menginsyafi diri, bahwa yah ... tidak semua ingin harus terpenuhi. Tidak semua hal harus kita pahami maksudnya. Ada kalanya kita hanya harus menjalaninya. Karena akal kita begitu terbatas untuk dapat menyelami makna dari ketetapanNya yang begitu Agung.

Kini, jika menengok ke belakang, sungguh, saya akan mendapati dalam perjalanan hidup saya, sebuah skenario indah yang telah Allah goreskan untuk saya. Skenario yang bahkan tidak saya bayangkan sebelumnya. Rentetan peristiwa yang mengalir tanpa rekayasa. Rangkaian kebetulan yang saya yakin bukanlah kebetulan.
Mungkinkah ini buah dari keikhlasan saya tempo hari ?
Wallahu a’lam.

Dan lagi-lagi saya harus mengakui kebenaran akan hal ini, bahwa Allah selalu memberikan apa yang kita BUTUHKAN bukan apa yang kita INGINKAN

Subhanallah .....