Mimpiku ...

Menjadi apa adanya diriku ... Memberi yang terbaik dan terindah Tuk mereka yang tercinta

Saturday, February 16, 2008

Posting terakhir (???)

Sebelum waktumu terasa memburu
sebelum lelahmu menutup mata
Luangkanlah sejenak detik dalam hidupmu
Berikanlah rindumu pada denting waktu

"Sejenak" by ... (pasti dah tahu semua deh)

Nggak terasa, blog ini sudah menemani saya selama kurang lebih 4 tahun. Hfffh nggak nyangka bisa bertahan sampai sejauh ini. Setidaknya ini bisa jadi arsip buat saya, tentang perjalanan rasa dan fikir saya selama 4 tahun ini. Sapa tahu besok bisa jadi bahan untuk membuat buku(huehehe, Miimpi !!!). Tak masalah, semua kan berawal dari sebuah mimpi. Kalau kata ustadz hasan, mimpi hari ini adalah kenyataan esok hari, betul ?!
kalo nggak, ya jadi arsip pribadi saja lah, buat bacaan anak cucu nanti.
Ini lho ibu dan nenek sewaktu mudah dulu (Halah, ngayal lagi). Eh nggak ngayal, beneran. Sapa tahu mereka jadi terinspirasi atau yah mengambil hikmah gitu dari tulisan-tulisan yang pernah kubuat.
Anyway, terima kasih buat yang sudah pernah singgah di dua blog erni ini. Semoga ada menfaat yang bisa diambil dari corat-coret ini. Maaf jika ada tulisan yang tidak berkenan atau ada tulisan-tulisan "nggak penting" yang lolos dari sortiran.
Setiap awal pasti ada akhir. Begitulah sunnatullah.
Pengennya sih tetep bisa nulis sampe tiba saat nggak bisa nulis lagi. Tapi semua tergantung dari situasi dan kondisi yang akan dihadapi nanti.
Apakah ini posting terakhir ?
Wallahu a'lam.
Tapi nggak ada salahnya dari sekarang, saya menghaturkan maaf dan terima kasih kepada mereka yang telah sudi mengunjungi persinggahan dan dunia_kecilku ^_^.
Semoga Allah masih berkenan mengizinkan saya untuk tetap menulis.
Mohon doa dari semua, tak lama lagi saya akan memasuki dunia baru yang belum pernah saya tapaki.
Semoa Allah mengkaruniakan keistiqomahan pada kita semua.
Aamin

Saturday, February 09, 2008

Lagi sensi

Akhir-akhir ini entah kenapa jadi begitu emosional. Terlalu reaksioner untuk hal-hal yang sebenarnya nggak terlalu perlu ditanggapi. Canda pun terdengar seperti cela. Amarah diumbar dimana-mana. Pokoke uring-uringan terus. Entah sudah makan berapa korban.
Sampe-sampe kepikir, aku tuh kenapa ya ? kok marah-marah terus. Memang sih, kalo udah marah jadi plong, tapi bener nggak sih marahku ini. Rasanya jadi capek sendiri.
Ga berapa lama, terjawab sudah apa yang menjadi tanya selama ini.
Ternyata bener juga riset yang menyatakan bahwa bagi wanita ada masa-masa tertentu yang menjadikannya sangat sensitif. Ibaratnya, disenggol aja bisa langsung marah, nangis, ngambek atau lainnya.
Dulu juga pernah, tiba-tiba aja nangis yang bener-bener nangis gitu karena hal yang sepele. Mana nangisnya didepan orang lagi, padahal kan waktu itu gengsi banget nangis depan orang. Kalo inget itu kadang agak nyesel juga, ngapain pake nangis segala. Tapi ya semua tuh spontan dan natural gitu, nggak dibuat-buat. Emang sudah fitrah dan sunnatullah kali ya ...
Kalo dan normal gini, jadi merasa bersalah dengan mereka yang tlah menjadi korban emosi ku di saat-saat sensitif itu.
Bisa nggak ya Allah kasih keringanan. Jadi jika di saat-saat sensitif itu seorang wanita mengeluarkan emosi sehingga menyakiti orang lain, nggak dicatat sebagai dosa. (Yee maunya). Kan emang sedang udzur. Eh, termasuk udzur nggak sih ???
Anyway, mohon maaf deh jika ada yang nggak sengaja jadi korban emosi saya. Mohon dimaafkan dan dimaklumi ya ...

Nyasar (Dari LSF ke Sandaran Hati )

Saya ingat teman saya pernah berkata, bahwa sebuah karya ketika sudah di publish, maka ia tlah menjadi milik publik dan bukan lagi menjadi milik pembuatnya. Artinya setiap orang yang melihat hasil karya itu bebas menafsirkan apa yang tersurat sesuai dengan interpretasi masing-masing. Misalnya saja karya semacam cerpen, puisi, syair, lukisan, patung, film, sinetron dan karya-karya yang bersifat ambigu dan multiinterpretatif lainnya.
Penyampaian nilai dan pesan lewat karya-karya tersebut memang lebih enak dinikmati dan tidak terkesan menggurui. Tapi kelemahannya adalah, terkadang pesan dan nilai yang ingin disampaikan menjadi tidak tepat sasaran. Sebenarnya ingin bilang A, tapi yang berhasil ditangkap adalah B, C bahkan Z. Nah lo, jauh banget kan. Selain itu sebagian besar orang lebih banyak melihat apa yang tersurat daripada apa yang tersirat.
Itulah kenapa Indonesia masih membutuhkan LSF.
Meskipun pokok masalahnya bukan pada film atau LSFnya, tapi pada "kedewasaan" (nggak sekedar baligh tapi juga mumayiz) dan "kesadaran bahwa saya sudah dewasa" dari individu individu yang mendiami negeri Indonesia tercinta ini, baik yang memproduksi maupun yang mengkonsumsi, dalam kasus ini adalah film.
Kalau kata temen saya yang Anak sospol, sebenarnya kontrol yang paling efektif adalah kontrol sosial. Artinya masyarakat sendirilah yang kemudian bergerak menyuarakan ketidaknyamanan yang dirasakan, ketika memang ada hal yang dirasa meresahkan dalam kehidupan bermasyarakatnya. Dan untuk itu dibutuhkan "kedewasaan" dan "kesadaran" itu tadi.
Terlepas efektif atau tidaknya peran LSF selama ini, lembaga ini masih tetap dibutuhkan. Karena ternyata untuk memotong atau menyensor adegan dalam suatu film, tidak semua orang bisa melakukan. Diperlukan sebuah lembaga resmi sebagai pihak yang berwenang dalam menyeleksi berbagai produksi film yang kini tengah marak. Disinilah LSF mengambil peran. Tinggal bagaimana menjadikan lembaga ini bisa lebih "bertaring" lagi dalam menjalankan fungsi dan perannya.
Masalah moral memang persoalan kita bersama. Setiap kita, mempunyai tanggungjawab terhadap masalah ini. Sebagai pribadi, ada kewajiban tuk membangun "kesadaran" pada diri sekaligus menjaga agar "kesadaran" dan "kedewasaan" itu tetap ada pada kita. Sebagai bagian dari masyarakat ada tanggungjawab untuk menumbahkan "kesadaran" dan "kedewasaan" dalam diri individu-individu di sekitar kita. Sebagai sebuah lembaga sensor, ada tanggungjawab untuk menjaga agar tayangan-tayangan yang tak layak tayang, tak beredar luas di masyarakat. Sebagai insan seni, ada tanggungjawab untuk membuat karya yang mendidik, mencerdaskan dan tidak mengganggu stabilitas akhlak generasi muda dan masyarakat Indonesia.
Seandainya dalam diri semua kita tlah tumbuh "kedewasaan", maka tentunya setiap kita akan menjalankan peran dengan penuh "kesadaran" serta memposisikan diri sebagai bagian dari solusi, bukan menjadi bagian dari masalah.

Begitulah ... Membaca tulisan ini memang membingungkan. Tambal sulam dan menyambungkan yang tidak nyambung. Yah ... itulah erni, hehe ...aneh.
Sebagai penutup tulisan yang kacau ini, saya ingin menulis syair Sandaran Hati-nya Letto. Ini juga termasuk karya yang multiinterpretatif. Dari berita yang saya dengar, lirik ini ditulis saat seorang makhluk tengah rindu dengan Khaliknya. Tapi setelah dilaunching, mu dan kau pada lagu inipun ditafsirkan berbeda-beda oleh orang yang berbeda-beda pula. Tapi kalau menurut saya pribadi, Mu dan Kau di lirik ini memang paling pas dan paling sesuai ditujukan untuk Allah.

Yakinkah ku berdiri
Di hampa tanpa tepi
Boehkah aku mendengarMu

Terkubur dalam emosi
Tanpa bisa bersembunyi
Aku dan nafasku ... MerindukanMu

Terpurukku disini
Teraniaya sepi
Dan kutahu pasti Kau menemani
Dalam hidupku
Kesendirianku

Teringat ku teringat
Pada janjiMu kuterikat
Hanya sekejap kuberdiri
Kulakukan sepenuh hati
Peduli ku peduli
Siang dan malam yang berganti
Sedihku ini tak ada arti
jika Kaulah sandaran hati
Kaulah sandaran hati

Inikah yang Kau mau
Benarkah ini jalanMu
Hanyalah Engkau yang kutuju

Pegang erat tanganku
Bimbing langkah kakiku
Aku hilang arah tanpa hadirMu
Dalam gelapnya malam hariku

Married and Love

Pernikahan adalah wujud dari kesungguhan cinta, begitu pendapat sebagian orang.
Saya jadi ingat sesuatu.
Suatu kali dalam sebuah kuliah, kami ditanya oleh Pak guru.
"Tolong tuliskan di papan tulis, apa yang ada dalam benak kalian, ketika saya mengatakan, 'Pernikahan'."
Lalu satu persatu dari kamipun maju. Tak terkecuali saya.
Dengan Pe Denya saya menggambar sebentuk hati beserta sebuah kata yang membuat seisi ruang kelas serentak berseru "iiihhiiiiiiii".
Sepatah kata itu adalah 'cinta'. Langsung deh kelas jadi heboh. Aku mung mesam-mesem tanpa rasa bersalah.
Memangnya ada yang salah ?
Perasaan biasa wae. Lagian emang kata itu yang terlintas dalam benak saya saat guru mengucap pernikahan. Nggak tahu, spontan aja gitu.
Tapi sebenarnya kata itu masih ada komanya, belum titik.
Karena cinta yang saya maksud bukanlah cinta dalam arti sempit seperti yang banyak dipersepsikan orang, tetapi cinta dalam arti luas dan bersifat universal.
Nalarnya gini.
Saat awal memutuskan untuk menggenapkan separuh din, maka disana ada cinta. Cinta pada Allah yang telah mensyariatkan menikah dalam tuntunanNya.
Cinta pada syariat Allah, yang dengannya kita berusaha menjalaninya dengan keridhaan dan keikhlasan
Cinta pada Rasulullah dan ittiba' terhadap sunnah-sunnahnya
Cinta pada diri, sehingga tidak ingin berlaku dzolim terhadapnya.

Saat menjalani pernikahan dan disepanjang perjalanannya, disanapun ada cinta.
Cinta kepada pasangan jiwa dan buah hati beserta segala yang ada padanya
Cinta atas peran dan amanah baru sebagai istri, ibu dan bagian dari masyarakat.
Cinta untuk saling menguatkan dalam menjalani proses menjadi muslim yang kaffah menuju rahmatan lil 'alamin
Cinta untuk saling berazzam dalam keistiqomahan dan fastabiqul khoirot
Cinta yang menjadi energi tuk selalu bersama dan tak kenal lelah menggapai cahaya cinta Nya yang hakiki dan abadi.

Hingga di pelabuhan akhirnya ...
pernikahan kan mampu menjadi jalan bagi cinta tuk mencapai keabadiannya.
Semoga ...

So, apakah pernikahan memang wujud dari kesungguhan cinta ???
Wallahu a'lam

Love and married

Ada yang bilang, cinta adalah syarat awal dari sebuah pernikahan. Dengan kata lain, dua orang itu harus saling mencintai dulu sebelum menikah.
Benarkah ???
Tapi kenapa, ada banyak pernikahan yang awalnya tanpa cinta, bisa tetep langgeng sampe sekarang. Dan sebaliknya, ada pernikahan yang diawali dengan cinta, tapi akhirnya kandas di tengah jalan dan berakhir dengan saling menyakiti.
Ternyata, cinta yang hanya sekedar cinta, tak cukup mampu menggiring bahtera rumah tangga tuk berlabuh dengan selamat di pelabuhan akhir.
Lalu, adakah yang salah dengan pernikahan yang diawali dengan cinta ?
Menurut saya sih, tidak ada. Selama yakin bisa menjaga diri dan hati, menghindari terjadinya fitnah, serta melalui proses yang bersih dan sesuai dengan syariatNya. Hanya yang menjadi masalah adalah sejauh mana keyakinan itu bisa dipertanggungjawabkan. Faktanya, tanpa embel-embel cintapun belum tentu selamat dari yang namanya fitnah.
Bagaimana dengan menikah sebelum adanya cinta ?
Itupun bukanlah suatu hal yang tak mungkin. Toh cinta tidak termasuk dalam rukun nikah (ngasal !!!). Bukan berarti bahwa cinta itu nggak penting. Sepanjang perjalanannya, pernikahan akan selalu membutuhkan cinta. Karena itu, setiap pasangan harus senantiasa memperbarui cinta mereka agar tak pupus oleh waktu. (ampuuun, sotoy banget deh nih anak). Yo ben. Secara teori sih emang begitu.
Hanya saja, rasanya tak cukup bijak untuk menjadikan cinta dengan kenisbiannya sebagai satu-satunya dasar pijakan atau patokan untuk memutuskan "Ya, saya bersedia menikah dengan Anda" atau "Maaf, saya belum bisa menerima Anda".
Pada akhirnya, menikah diawali dengan atau tanpa cinta, semua adalah tentang sebuah pilihan. Yang perlu diperhatikan, bahwa pilihan yang diambil hendaknya didasarkan pada kefahaman, keridhaan dan tanpa keterpaksaan.
WaLLahu A'lam


: yang ingin, akan dan tengah menuju penggenapan separuh din
BismiLLahi tawakkaltu 'aLaLLahi
Semoga Allah memudahkan. Aamiin.
Jo lali undangane ^_^