Mimpiku ...

Menjadi apa adanya diriku ... Memberi yang terbaik dan terindah Tuk mereka yang tercinta

Monday, February 26, 2007

Gagal

"Mbak, aku merasa gagal".
Suara itu terdengar diantara isak yang tertahan.

Hfff ... Gagal ....
Kata orang, ia adalah kesuksesan yang tertunda. Kata Pak Fadli, gagal adalah kesempatan untuk mengulang lagi dengan cara yang lebih baik. Kata Aa' Gym, tidak ada kata gagal atau rugi dalam hidup ini. Yang ada adalah proses pembelajaran. Jika nasi sudah menjadi bubur, maka yang harus kita lakukan adalah mencari sepotong daging, memberinya kuah dan menaburinya dengan bawah goreng ditambah dengan kerupuk. Hmmm, ia akan menjelma menjadi bubur ayam yang lezaaat ...
Kucoba memutar memoriku, mencari dimana kata itu bisa kutemukan dalam tumpukan file-file masa lalu.
Yup ! akhirnya ketemu.
Menurut pengalaman, perasaan gagal bisa muncul ketika seseorang merasa hidupnya tidak berarti. Merasa bahwa hidupnya hanya menjadi beban bahkan benalu bagi orang lain. Ditambah lagi ketika merasa tidak ada yang bisa dia lakukan bagi dirinya sendiri terlebih bagi orang lain.
Setiap orang, tentunya mempunyai definisi sendiri-sendiri tentang kegagalan, sama halnya dengan parameter sukses yang sangat beragam dan berbeda satu orang dengan lainnya.
Bagiku sendiri, selama aku masih bisa merasakan hangat sinar sang mentari, menghirup sejuk udara pagi, masih mampu berdiri tegak di atas bumi, maka aku belum gagal. Keberadaanku saat ini, menunjukkan bahwa aku telah berhasil melewati sekian masa yang ada dan mampu bertahan diatas segala rasa dan peristiwa yang tlah mewarnai.
Dan lagi, saat aku mendapati diriku masih bisa membuka mata esok pagi, maka aku menyadari, bahwa kesempatan itu masih ada untukku, untuk memperbaiki kesalahan, untuk berbuat kebajikan dan untuk berbagi kemanfaatan dengan sesama.
Saat Allah masih memberiku hidup, akupun yakin, masih ada manfaat yang bisa kuberikan bagi hidup dan kehidupan ini.
So, tetep semangat !!!

:seorang mbak yang sore itu mengajakku tertunduk memahami hidup.
Selama kita masih punya nafas, kita belum gagal kok mbak !!!
Semangatttt !!!!!
Luv 4 piepha

Wednesday, February 21, 2007

Akhwat eksklusif ???

Dikutip dari forum diskusinya anak fsrmy (http://fsrmy.net/forum)

Mo ikutan urun rembug nih.
Sebelumnya mo memperjelas dulu, maksudnya eksklusif itu dalam hal apa ?
Kalo dalam hal berpakaian, bisa di bilang kita (baca : akhwat) memang eksklusif. Artinya dengan ukuran kain Xtra Large yang lebih panjang dan lebih lebar dari ukuran kebanyakan, membuat sosok akhwat terlihat menjadi sosok yang eksklusif. Dan mendapat gelar eksklusif untuk masalah ini, bagi saya sendiri, itu bukan suatu masalah. Wong memang begitulah seharusnya. Selama kita yakin bahwa itu benar, maka tak perlu pedulikan apa kata orang.
Tapi, kalo eksklusif yang dimaksud adalah eksklusif dalam bergaul, maka ini yang perlu kita pikirkan dan tindak lanjuti.
Jika eksklusif dalam bergaul itu diartikan dengan tidak bisanya seseorang berinteraksi dengan sesama, maka para akhwat tidak termasuk dalam kriteria eksklusif ini. Karena saya lihat, akhwat-akhwat sekarang tetep bisa membaur dengan teman-teman dari berbagai kalangan, mulai dari yang hanif sampai yang gaul, bahkan dengan yang beda agamapun tetap bisa berinteraksi. Meskipun dari segi intensitas, tetap saja frekuensi bergaul dengan sesama akhwat tetap lebih besar daripada dengan yang lain.
Jika eksklusif tersebut diartikan dengan kurangnya bersosialisasi dengan lingkungan masyarakat sekitar, maka dalam hal ini akhwat (termasuk saya T_T) masuk dalam golongan eksklusif tadi, meskipun tidak semuanya. Sebenarnya bukan hanya sosok akhwat saja yang disebut eksklusif. Temen-temen kita yang anak kost, yang jumlahnya banyak itupun bisa juga dibilang eksklusif. Lihat saja, apakah mereka pernah ikut kegiatan di kampung atau ikut kegiatan remaja dan karang taruna ditempat mereka tinggal? (Kalo ditempat saya kost, saya belum pernah menemui hal ini). Tapi kenapa ya mereka tidak dicap sebagai orang yang eksklusif ?

Salah satu hal yang menjadi alasan kenapa akhwat cenderung untuk membatasi diri dari lingkungan masyarakat adalah karena ketidaknyamanan, seperti yang telah mbak erni sebutkan. Jujur, ketika kita berada dalam lingkungan yang semuanya ikhwah dan mengerti serta faham dengan Islam dan segala syariatnya, ada perasaan nyaman yang itu tidak kita temukan ketika kita berada di lingkungan yang orangnya beragam, dengan pemahaman islam yang seadanya. Ketidaknyamanan itu muncul karena adanya perbedaan cara pandang dan juga menyangkut kebiasaan, sikap dan gaya hidup yang berbeda. Jadi ya, ketika tidak nyaman, otomatis kita tidak akan betah dan cenderung untuk menghindarinya.
Mungkin terdengar seperti sebuah apologi untuk memaklumkan adanya ke-eksklusif-an dalam bergaul ini. Tapi ya ... begitulah yang saya rasakan.
Saya sepakat, jika hal ini tidak bisa dibiarkan terus-menerus, karena cepat atau lambat kita akan kembali ke masyarakat, dan justru di masyarakat inilah peran-peran seorang akhwat yang notabene mempunyai ilmu dan kafaah yang lebih, sangat dibutuhkan. Bahkan menurut saya, dakwah di masyarakat inilah dakwah yang sebenarnya, tentu saja, tanpa menafikkan dakwah di ranah-ranah yang lain. Dan untuk terjun ke masyarakat, diperlukan akhwat-akhwat yang tidak eksklusif, yang mau meninggalkan rasa kenyamanannya dan menanggalkan rasa ketidaknyamanannya, yang dia mau berbaur dengan masyarakat sehingga bisa diterima masyarakat sebagaimana adanya dia, yang mampu mewarnai masyarakat, tanpa harus meninggalkan celupan warna yang telah disandang dan diyakininya.
Untuk itu, banyak hal yang perlu dipersiapkan dan harus mulai berbenah dari sekarang. Mengutip perkataan salah seorang temen saya, ada kalanya, kita harus keluar dari zona nyaman kita. Karena disanalah akan kita temui tantangan, gesekan ataupun benturan, yang itu justru akan semakin mengasah kemampuan diri kita, memunculkan potensi diri yang terpendam dan membuat kita bisa lebih berkembang.
Wow, dahsyat kan ?!
Jadi, tak ada pilihan lain, bahwa kita harus belajar untuk keluar dari zona nyaman kita, dan mulai bertebaran di muka bumi.
Wallahu a'lam

Afwan kalo terlalu panjang dan nggak nyambung dengan apa yang ditanyakan.
Ditujukan untuk diri saya sendiri, yang juga tengah belajar untuk bersosialisasi dan bermasyarakat. Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim. Laa Haula wa Laa Quwwata ila Billahi

Januari di 2007

Disini ada pesawat Adam Air yang hilang beserta penumpangnya. Ada pula kapal Senopati yang tenggelam, yang hingga kinipun keduanya masih belum ditemukan.
Aneh ya, masa benda segedhe itu kok ya bisa raib tanpa jejak. Tapi memang tidak ada yang tidak mungkin jika Allah sudah berkehendak.
Trus akhir bulan ada pemusnahan unggas besar-besaran di daerah Jakarta. Gara-garanya, unggas-unggas itu dicurigai nyebarin virus yang sudah memakan banyak korban di berbagai penjuru dunnia, termasuk di negeri ini. Nah, kalo yang mau ayam or bebeknya selamat, maka mereka harus disertifikasi dulu.
Hfff, menurutku kok ya aneh. Apa nggak ada solusi lain ???
Nah, pas flu burung lagi hangat-hangatnya merebak, ternyata DBD ga mau kalah.
Aedes Aegypti (bener ga ya nulisnya ???) mulai mencari korban. Maklum dah musim hujan. Nah biasanya kalo penyakit ini sudah mewabah, rumah sakit langsung penuh dengan pasien yang umumnya anak-anak. Saking penuhnya, sampai-sampai pasien harus rela untuk di rawat di koridor-koridor rumah sakit. Jadi inget ma kejadian 15 tahun lalu.
Yah, januari yang penuh cobaan.
Semoga ujian ini mampu menjadikan kita semua termasuk dalam golongan hamba-hambaNya yang bersabar.
Aamiin

Wednesday, February 14, 2007

Blank Area

* * *

* *

* * * * *
* * * *

* * * *

* * * * *
* * * *

* * * *

* * *

Namanya juga blank, jadi ya ga da isinya ^_^

Saturday, February 10, 2007

Jazaki

”Mbak, ngembali’in sapu ya, Jazaki ... Jazaki ... Jazakillahu Khoiron
Walaki ... walana ... Insya Allahu Al Jannah ”

Lagi-lagi senandung itu terdengar untuk kesekian kalinya.
Dalam sehari lantunan lagu sekaligus doa tersebut bisa terdengar lebih dari sepuluh kali di asrama kami. Seandainya ada AMI Award di asrama kami, bisa jadi lagu tersebut meraih penghargaan The Most Favourite Song dan menduduki Top Ten tangga lagu teratas.
Meski singkat dan sederhana, namun lagu tersebut menyimpan sejarah dan kenangan yang takkan terlupa antara kami dengan adik-adik dari negeri jiran yang beberapa waktu lalu singgah di tempat kami.
Pertama kali mendengar senandung tersebut, adalah saat acara penyambutan dan ramah tamah dengan mereka usai. Tiba-tiba saja pas acara sudah berakhir, secara serempak dan spontan mereka semua bernasyid seperti diatas. Agak kaget juga awalnya. Tapi ternyata itu memang telah menjadi kebiasaan yang mereka lakukan setiap kali selesai mengikuti suatu acara.
Wow, kami jadi terkagum-kagum. Subhanallah ...
Sebuah budaya dan kebiasaan yang perlu kita teladani.


Jadi tersadar, rasanya jarang banget kita mengucap terima kasih, terlebih untuk hal-hal kecil yang kita terima. Yah, tanpa kita sadari, budaya ’Terima kasih’ sudah mulai terkikis oleh budaya-budaya lain semacam individualis dan materialis, sehingga penghargaan terhadap sesama, hatta itu hanya ungkapan terima kasih, mulai jarang terdengar.
Saya pernah melihat sebuah acara Reality Show di TV, yang disana menyoroti tentang para pekerja yang dalam keseharian berjasa terhadap kita, namun kurang mendapatkan penghargaan. Semisal tukang parkir atau satpam. Dan ternyata dari sekian banyak orang yang menggunakan jasa mereka, hanya beberapa saja yang kemudian mengucapkan terima kasih.
Hal ini menunjukkan betapa mahalnya kata terima kasih terucap dari mulut kita. Mungkin, kita sudah merasa cukup dengan beberapa rupiah yang kita berikan sebagai ganti jasa mereka, sehingga merasa tidak perlu lagi mengucapkan terima kasih. Namun, tetap saja ada nilai rasa yang berbeda, saat rupiah itu terhulur bersamaan dengan ucap tulus terima kasih. Bahkan bisa jadi dua kata yang dengan tulus kita ucapkan itu jauh lebih bermakna daripada keping dan lembar rupiah yang mereka terima.
Sepertinya, kita memang perlu belajar kembali untuk mengucapkan terima kasih, meskipun dua kata itu sudah begitu fasih kita lafadzkan dan begitu sering kita dengar.

Jazaki ... Jazaki ...
Jazakillahu Khoiron
Walaki ... walana
Insya Allahu Al Jannah

Alangkah indahnya, seandainya syair diatas bisa lebih sering didengar dan dilantunkan oleh lebih banyak orang.

: teriring salam dan do'a, tuk para mujahidah kembara misi cahaya
Jazakillah atas jalinan ukhuwah yang begitu indah dan bingkisan nasyid yang takkan terlupakan.
Luv u all, sist ...
Kapan yah Indonesia bisa membuat acara semacam R2J ?
Tanya kapan ???!!!

Wednesday, February 07, 2007

(Sekelumit) Laskar Pelangi

Laskar Pelangi...
Itulah judul buku yang kemarin sempat kubaca. Kata temen-temen, buku pertama dari tetralogi karya Andrea Hirata ini cukup bagus. Setelah membaca sendiri, meski baru sampai bab 10, ternyata buku ini memang bagus. Penuh inspirasi dan motivasi.
Buku ini merupakan adaptasi dari kisah nyata yang menceritakan tentang perjuangan 10 bocah Melayu Belitong dalam menjalani hari-hari mereka. Kesepuluh anak-anak itu merupakan murid-murid kelas 1 di SD Muhammadiyah di kawasan itu. Sebuah SD kecil berusaha mempertahankan eksistensinya ditengah kondisi yang semakin tidak bersahat.
Kondisi SD, baik dari segi gedung, sarana prasarana maupun siswanya, yang ibarat nafas, tinggal satu-dua, tidak membuat Pak Harfan dan Bu Mus (Kepala Sekolah dan Guru di SD itu) menjadi patah arang. Mereka tetap bersemangat mengajar anak-anak asuhnya mengenal tentang Islam, menceritakan kisah Nabi-nabi utusan Allah, mengenalkan pada mereka keberanian Rasulullah dan para sahabat dalam menegakkan Islam, mengajarkan arti sebuah amanah, mengajarkan bagaimana akhlak yang mulia, menuturi tentang aljabar dan ilmu hitung, dan banyak lagi. Mereka tak pernah mengeluh meski atas perjuangannya tersebut, mereka hanya menerima upah 15 kilo beras setiap bulannya ! Subhanallah ..., sebuah pengorbanan yang begitu luar biasa.
Tak heran, mereka begitu disayangi oleh murid-muridnya, terutama oleh murid kelas satu yang baru saja merasakan dunia sekolah. Ada Sahara, satu-satunya anak wanita di kelas satu yang begitu keras kepala, ada Harun anak usia 15 tahun yang mengalami keterbelakangan mental dan dalam setiap pelajaran selalu saja menanyakan "Ibunda, kapan kita liburan lebaran ?". Dan yang begitu mengesankan adalah sosok jenius Lintang, bocah laki-laki kecil berambut kemerahan yang begitu bersemangat menghadapi hari pertamanya masuk sekolah. Lintang yang berasal dari pesisir harus rela berangkat subuh dan menempuh jarak 40 kilometer dengan sepeda kecilnya untuk bisa sampai di sekolah. Iapun harus melewati rawa-rawa dan hutan yang cukup berbahaya. Tak jarang ia harus berhadapan dengan buaya-buaya ganas yang siap mengintai setiap saat. Namun semua itu tak pernah menyurutkan langkahnya untuk bersekolah. Satu yang menjadi catatan gemilangnya adalah, tak pernah sekalipun ia membolos !!!

Ada kejadian yang cukup membuat haru saat membacanya.
Perjalanan 80km sehari ternyata tak cukup kuat diampu oleh sepeda kecil Lintang. Suatu hari di tengah perjalanan menuju sekolah, rantai sepeda usang itupun putus sudah. Lintang kecil menuntun sepedanya menempuh jarak yang masih tersisa, menuju sekolah yang begitu dicintainya. Terang saja, sesampainya di sekolah, pelajaran sudah hampir selesai, tinggal ada sedikit waktu untuk pelajaran seni pada hari itu. Dan dengan sedikit waktu tersebut, Lintang masih sempat untuk menyanyikan lagu "Padamu Negeri" di depan kelas. Ia menyanyi dengan begitu bersemangat, seolah hilanglah segala letihnya. Setelah itu, selesailah pelajaran hari itu. Dan Lintangpun kembali pulang dengan menuntun sepedanya, menempuh 40 km jarak antara sekolah dengan rumahnya. Meski akhirnya hanya menyanyikan lagu Padamu Negri, namun ia tampak begitu puas.
Subhanallah ........
Pokoknya bukunya seru banget deh. Ada haru, ada lucu, pun ada nyeri saat membacanya.
Kita bisa belajar menjadi bijak dengan petuah-petuah Pak Harfan yang begitu arif, antara lain bahwa hendaknya dalam hidup ini, kita harus merusaha untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan menerima sebanyak-banyaknya. Beliau juga memberikan sebuah kunci untuk dapat menemukan kebahagiaan ditengah segala keterbatasan yang ada, yaitu Keikhlasan.
Kitapun bisa belajar arti pengorbanan dari sosok ibu Mus. Atau belajar tentang persahabatan dari Sahara dan Harun, belajar tentang semangat dan ketekunan dari sosok Lintang. Dan akhirnya kitapun bisa lebih mengenal hidup. Bahwa hidup itu tak selalu berakhir manis seperti yang sering disuguhkan oleh sinetron-sinetron kita. Bahwa hiduppun mengenal kata ironis dan tragis. Sebagaimana nasib Lintang yang meskipun ia begitu cerdas dan bahkan bisa dibilang jenius, namun akhirnya takdir mengantarkannya menjadi seorang .......
Yah baca sendiri aja deh. Nggak seru kalo diceritakan semuanya disini.
Begitulah sekelumit gambaran kehidupan anak-anak Melayu Belitong. Dan bukan tidak mungkin, itu terjadi pula di belahan bumi lain di dunia ini. Masih diperlukan sosok-sosok penuh dedikasi, bekerja dengan hati dan mempunyai semangat berkorban yang tinggi semisal Pak Harfan dan Bu Mus. Yang bekerja bukan semata transfer ilmu, atau sekedar mencari penghargaan ataupun nominal rupiah, namun berjuang tanpa pamrih dalam upaya mencerdaskan umat.

Andakah itu ?
Atau ... saya ??? (Insya Allah, Aamiin).


So, baca, dan temukan inspirasimu.