Mimpiku ...

Menjadi apa adanya diriku ... Memberi yang terbaik dan terindah Tuk mereka yang tercinta

Wednesday, January 24, 2007

Arti sebuah Nilai

Suatu siang, saat tengah rehat sejenak bersama seorang saudara, di salah satu sudut masjid.
Sejuk semilir angin membuat betah untuk berlama-lama duduk disana. Sementara di luar, matahari Ramadhan begitu teriknya.
Sambil menghilangkan kantuk yang menghinggapi, kucoba mengedarkan pandangku ke sekeliling. Tampak orang-orang dengan aktivitas masing-masing. Ada yang sedang tilawah, ada yang tengah melepas lelah, sebagian sedang asyik berdiskusi dalam kelompok-kelompok kecil. Semuanya wanita, karena memang di masjid itu, aktivitas bagi muslimah, baik itu syuro’, kajian, ataupun sholat, dikhususkan di lantai dua.
Tiba-tiba saudara saya tersebut berkomentar,
“Akhwat-akhwat yang subhanallah”.
Aku tersenyum mendengar komentarnya. Sebenarnya sih paham apa yang dimaksud, sebuah ungkapan kekaguman. Tapi kalo dilihat dari arti bahasanya, kan jadi wagu, aneh gitu. Tapi karena dah jadi kebiasaan, lama-kelamaan ya jadi ga aneh lagi.
Lalu, kamipun sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Tiba-tiba saja muncul pikiran asal dibenakku.
“Eh mbak, kalo ada akhwat yang subhanallah, ada nggak ya akhwat yang astaghfirullah atau akhwat yang Innalillahi ?”, kataku sambil tersenyum usil.
Temenku tersenyum terpingkal-pingkal (gimana coba ?) sambil berkata,
“Kalo aku mah akhwat yang Allahu Akbar saja”.
Lho ???, jadi ngaco semua nih.
Sekedar intermezzo aja. Tapi setelah itu aku jadi kepikiran pada apa yang baru saja kami bicarakan tadi.

Menilai orang lain …
Tanpa sadar kita sering melakukan kegiatan ini, baik secara institusional maupun secara individu. Menilai sikap seseorang, kepribadiannya, kerjanya, aktivitasnya, sifatnya, penampilannya dan lain-lain. Tak jarang, kita justru terjebak untuk memberi label pada seseorang. Oo,si A itu begini, si B itu begitu dan seterusnya. Kalo labelnya baik sih ga masalah, tapi kalo labelnya buruk, itu yang jadi masalah. Padahal sekali label dipasang, susah untuk dicabut kembali.
Sekilas, masalah ini tampak sepele, tapi bisa menimbulkan dampak yang cukup serius.
Bagi orang yang dinilai, hal ini bisa mengikis sedikit demi sedikit bangunan keikhlasan yang telah dibangunnya. Ini terjadi saat seseorang itu meniatkan amalnya hanya agar mendapat penilaian yang baik dari manusia, dan bukan karena Allah. Dan, ketika amalan itu tidak mengandung nilai ikhlas, sia-sialah semuanya. Sayang banget kan ?!
Bagi orang yang menilai, masalah ini bisa menggiringnya ke arah ghibah dan fitnah. Ini terjadi ketika penilaian itu hanya berdasar pada prasangka tanpa mengedepankan etika bertabayyun. Biasanya, orang terlalu cepat menarik kesimpulan, hanya berdasarkan pada sekelumit informasi yang didapat dan dari apa yang tampak di sisi luarnya. Padahal kan, apa yang dilihat, didengar dan dirasa oleh indra kita, belum tentu bisa menggambarkan apa yang ada di kedalaman dalam hati seseorang. Karena, wilayah hati adalah wilayah Allah. Manusia tak mempunyai daya dan kemampuan tuk mengetahui secara pasti apa yang ada dalam hati seseorang.
So, kalo menurutku sih, wewenang menilai itu hanya ada pada Allah, karena Dia adalah zat Yang Maha Mengetahui. Sedangkan manusia hanyalah makhluk yang begitu lemah dan penuh keterbatasan.
Oya, satu lagi. Masih ingat dengan kisah ayah dan anak yang ingin menjual keledainya ?
Pelajaran penting yang bisa kita ambil dari kisah tersebut adalah bahwa penilaian manusia tidak selalu bisa dijadikan acuan atau dasar dalam mengambil sikap atau melakukan amal. Karena, penilaian manusia bersifat nisbi, relatif dan subyektif. Satu waktu bisa dinilai baik, tapi diwaktu lain bisa merubah menjadi buruk. Atau bisa jadi bagi seseorang itu baik, tapi belum tentu bagi orang lain.

Jadi, cukup penilaian Allah saja yang kita jadikan acuan, dan cukuplaaah Allah saja yang menjadi penilai bagi segala aktivitas kita.

No comments: